Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

40% Petani Sawit Indonesia Hadapi Tantangan Ketertelusuran dan Sertifikasi

Lebih dari 40% area perkebunan sawit Indonesia dikelola oleh petani kecil independent yang sebagian besar masih berada di luar sistem ketertelusuran dan sertifikasi formal. foto: ist

SuaraTani.com - Jakarta| Senior Program Manager Koltiva, Jusupta Tarigan mengatakan, lebih dari 40% area perkebunan sawit Indonesia dikelola oleh petani kecil independent yang sebagian besar masih berada di luar sistem ketertelusuran dan sertifikasi formal.

Kesenjangan ini membatasi akses mereka ke pasar berkelanjutan dan menimbulkan risiko kepatuhan bagi rantai pasok secara keseluruhan. 

"Ketika negara importir global memperketat standar keberlanjutan melalui kebijakan seperti EUDR, Indonesia dihadapkan pada tantangan penting, yaitu mengintegrasikan jutaan petani kecil ke dalam rantai pasok yang transparan, tertelusur, dan inklusif agar tetap kompetitif di pasar global," kata Jusupta dalam siaran tertulis, Jumat (31/10/2025) di Jakarta.

Karena itu, kata Jusupta, ketertelusuran digital dan kesiapan sertifikasi menjadi hal yang sangat penting, terlebih di tengah pembahasan kemungkinan penundaan EUDR, meskipun belum ada konfirmasi resmi terkait tenggat waktu Desember 2025.

Dikatakannya, secara global, petani kecil yang mengelola kurang dari 50 hektare menghasilkan hingga 30% minyak sawit mentah dunia dan mencakup hampir sepertiga dari total area perkebunan sawit.

Faktanya, kata Jusupta, hanya 7% pabrik bersertifikat di Indonesia yang bermitra dengan petani kecil independen, dan kurang dari 1% dari mereka telah memperoleh sertifikasi RSPO atau ISPO

Di Provinsi Riau yang merupakan salah satu sentra produksi sawit terbesar di Indonesia, perkebunan petani independen mencakup 1,61 juta hektare, tetapi hanya 0,48% (7.798 hektare) yang telah bersertifikat RSPO. 

Hal ini menunjukkan kesenjangan inklusi yang signifikan. Kekurangan data ini bukan hanya persoalan sertifikasi, melainkan juga mencerminkan minimnya visibilitas dan inklusi sistemik. 

"Petani yang tidak terdaftar tetap terpinggirkan dari program keberlanjutan dan peluang hilir, sementara perusahaan menghadapi risiko kepatuhan dan hambatan pasar," jelasnya.

Jusupta lebih jauh mengatakan, sspek legalitas dan ketertelusuran kini menjadi syarat utama untuk mengakses pasar ekspor premium. 

Di bawah EUDR dan kebijakan serupa, produsen harus membuktikan lokasi kebun (plot-level geolocation), legalitas lahan, serta rantai pasok yang dapat ditelusuri penuh hingga ke kebun (TTP). 

Bagi Indonesia, dengan rantai pasok yang kompleks dan banyak perantara, hal ini menuntut pendaftaran produsen yang terverifikasi, transaksi yang transparan, dan rantai pasok tanpa celah dari kebun hingga pabrik.

“Kami telah melihat bagaimana digitalisasi dan model kolaboratif dapat mengubah kepatuhan dari beban menjadi peluang. Namun dampak jangka panjang hanya dapat tercapai jika semua pemangku kepentingan bekerja bersama, memastikan tidak ada petani kecil yang tertinggal dalam transisi menuju rantai pasok berkelanjutan,” kata Jusupta.

Dikatakannya, Koltiva, perusahaan AgriTech asal Swiss-Indonesia ini mengembangkan KoltiTrace, platform ketertelusuran digital yang memetakan produsen, memantau data di tingkat kebun, dan memverifikasi transaksi secara real time. 

Di Indonesia, sistem KoltiTrace telah memberdayakan lebih dari 2.600 bisnis di sepanjang rantai pasok sawit dan mendaftarkan lebih dari 178.000 petani, meningkatkan transparansi dan inklusi di setiap tahap produksi.

Koltiva juga berkolaborasi dengan UNDP, SECO, Swisscontact, dan pemerintah daerah untuk memperkuat pemberdayaan produsen melalui pengambilan keputusan berbasis data dan manajemen rantai pasok inklusif,.

Membangun Infrastruktur Digital Sawit Berkelanjutan

Jusupta mengatakan, Koltiva mendorong transparansi dan inklusi melalui keterlibatan aktif dalam Sustainable Landscape Platform Indonesia (SLPI) serta inisiatif Multi-Stakeholder Forum (MSF) yang menyatukan lembaga pemerintah, swasta, LSM, dan kelompok tani untuk menyelaraskan tujuan keberlanjutan. 

Melalui kolaborasi dengan UNDP, SECO, dan pemerintah daerah, Koltiva lanjut Jusupta, membantu membangun sistem data terintegrasi, memperkuat kesiapan sertifikasi, dan memperluas produksi sawit berkelanjutan di wilayah-wilayah utama.

Salah satu hasilnya adalah Dashboard MSF yang didukung oleh KoltiTrace MIS, yang memungkinkan pemerintah daerah seperti Kabupaten Aceh Singkil mengoordinasikan aksi, memantau indikator keberlanjutan, dan menerbitkan laporan kemajuan secara transparan.

Dengan partisipasi 9 LSM dan 8 lembaga pemerintah, dashboard ini meningkatkan akuntabilitas, kepercayaan investor, serta produktivitas, sekaligus mengurangi risiko deforestasi.

Menurutnya, banyak perusahaan di Indonesia kini mengadopsi teknologi untuk memenuhi standar keberlanjutan dan mengintegrasikannya ke dalam rantai nilai mereka. 

Ketertelusuran digital bukan sekadar alat kepatuhan, tetapi fondasi ketahanan ekonomi. 

"Dengan memberdayakan petani melalui data, kita menciptakan visibilitas yang mendorong nilai, transparansi, dan akses ke pasar premium,” ungkap Ainu Rofiq, Co-Founder Koltiva.

Kolaborasi lintas industri lanjut Ainu, tetap menjadi kunci untuk menutup kesenjangan data yang membuat jutaan produsen tak terlihat. 

Dengan menggabungkan data kebun yang terverifikasi, ketertelusuran digital, dan dukungan sertifikasi, Indonesia dapat memperkuat posisinya di pasar global sekaligus memastikan kesejahteraan petani kecil.

Pemerintah juga menegaskan bahwa integrasi petani kecil melalui data dan sertifikasi sejalan dengan prioritas nasional untuk daya saing, ketahanan pangan, dan penguatan industri hilir. * (rilis/junita sianturi)