Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tampung Hasil Pertanian, KBI akan Bangun Sistem Resi Gudang di Selopamioro

Direktur Utama (DIrut) PT KBI (Persero), Fajar Wibhiyadi menanam bibit durian hitam di Bukit Dermo, Desa Selopamioro, Kapanewon Imogiri, Yogyakarta, Rabu  (17/3/2021). suaratani.com - junita sianturi

SuaraTani.com – Selopamioro| PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) (Persero) berencana membangun Sistem Resi Gudang (SRG) di Desa Selopamioro, Kapanewon (Kecamatan) Imogiri, DI Yogyakarta. Rencana pembangunan SRG ini menurut Direktur Utama (Dirut) PT KBI (Persero), Fajar Wibhiyadi, untuk memberikan nilai tambah bagi petani setempat.

“Selopamioro  merupakan salah satu sentra pertanian utamanya hortikultura buah-buahan dan bawang merah,” ujar Fajar kepada sejumlah media, Rabu malam (17/3/2021) di Hotel Ibis, Yogyakarta.

Hal itu dikatakan Fajar usai melakukan kunjungan dan penyerahan sejumlah alat pengolahan pangan bersama Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) kepada Kelompok Wanita Tani di Desa Selopamioro, Imogiri, Rabu siang (17/3/2021). Seluruh rangkaian kegiatan dilakukan dengan mengikuti protokol kesehatan.

Di Selopamioro, kata Fajar, telah dikembangkan tanaman buah-buahan seperti durian, dan alpukat yang ditanam  di lahan-lahan berbukit. Selain itu, dalam kesehariannya petani juga menanam bawang merah dan palawija yang produksinya juga lumayan banyak.

Bila panen tiba, kata Fajar Wibhiyadi, produksi berlimpah dan biasannya harga pertanian pun anjlok. Hal ini membuat petani merugi, margin yang diperoleh rendah. 

“Itulah, mengapa KBI ingin membangun Sistem Resi Gudang di Imogiri agar produksi pertanian bisa ditampung dalam jumlah besar dengan tetap mempertahankan harga jual petani di samping memberikan pinjaman sebagai modal usaha,” kata Fajar.

Karena SRG, kata dia, dapat memfasilitasi pemberian kredit bagi dunia usaha termasuk petani dengan agunan inventori atau barang yang disimpan di gudang. 

“Sistem pembiayaan perdagangan sangat diperlukan bagi dunia usaha demi kelancaran usahanya terutama bagi usaha kecil dan menengah termasuk petani yang umumnya menghadapi masalah pembiayaan karena keterbatasan akses dan jaminan kredit,” terang Fajar.

Terkendala Air

Sebagaimana diketahui di Selopamioro wilayah Bukit Dermo Desa Selopamioro mayoritas penduduknya bermatapencaharian pertanian, yakni petani padi, palawija (ubi dan jagung) serta hortikultura buah-buahan dan bawang merah.

“Ya, Selopamioro ini termasuk sentra bawang merah. Dan, petani sejak tahun 1990 sudah menanam bawang merah sebagai tanaman pengganti tembakau. Dulunya, banyak petani yang menanam tembakau, tapi karena harga bawang merah bagus, tembakau ditinggalkan,” kata perwakilan Kapanewon Imogiri, Hartoyo.  

Jurianto, Kepala  Dukuh Nawongan I, Desa Selopamioro sekalaigus petani bawang merah. suaratani.com - junita sianturi

Jurianto, Kepala  Dukuh Nawongan I, Desa Selopamioro sekaligus petani bawang merah kepada SuaraTani.com, menceritakan sejumlah kendala yang mereka hadapi dalam bertani. Selain harga yang kerap tidak memihak, petani juga diperhadapkan pada sulitnya memperoleh air dalam mengairi pertaniannya.

Dikatakannya, di Dukuh Nawongan I ada berkisar 80-an hektare pertanaman bawang merah. Sayangnya, pertanian yang mereka olah secara semi organik tersebut hanya dapat dilakukan dua kali saja dalam setahun, yang seharusnya dapat dilakukan lima kali dalam setahun. “Musim tanam bawang merah dilakukan di bulan Mei hingga Agustus tiap tahunnya, selebihnya kami bercocok tanam padi, jagung ataupun ubi,” kata pria berusia 40 tahun tersebut. 

Bapak dua anak itu juga mengatakan, minimnya ketersediaan air membuat mereka kesulitan untuk terus bercocok tanam. Mereka hanya mengandalkan hujan dan embung air yang dibangun secara swadaya petani. 

“Jumlahnya ada berkisar 520 embung, tapi ukurannya kecil-kecil, hanya 3x2x3 meter. Cukup untuk mengairi lahan sendiri,” ucap Jurianto.

Air yang tersedia di embung itu, menurut Jurianto, hanya mampu mengairi lahan pertanian pada musim tanam pertama. Untuk musim tanam kedua, mereka mengandalkan sumur bor yang dibangun oleh Dinas Pertanian setempat sebanyak tiga unit. 

Dari sumur bor itu petani mengaliri air dengan sistem pipanisasi ke embung-embung milik petani. Untuk penggunaan air dari sumur bor itu petani dikenakan biaya berkisar Rp20.000 per jam,  untuk biaya pemeliharaan.

“Kami masih membutuhkan tiga unit lagi sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertanian kami,” terangnnya.

Untuk produksi bawang merah, menurut Jurianto, lumayan bagus. Dalam  satu kilogram bibit bawang merah mampu menghasilkan berkisar 12 kg bawang merah (1:12). Karena itulah, mereka berharap PT KBI dan pemerintah dapat membangun sumber air di desa ini sehingga petani dapat meningkatkan produksi bawang merah dan hasil-hasil petanian lainnya lebih banyak lagi.

Untuk harga jual bawang merah, ia mengaku, sejak setahun terakhir tepatnya pandemi Covid-19, harga bawang merah lumayan bagus, berkisar antara Rp20.000 – Rp30.000 per kilogram (kg) di tingkat petani. Sebelumnya, petani hanya memperoleh harga b erkisar Rp20.000 per kg.

“Selain air, kami juga belum memiliki gudang penjemuran atau pengeringan bawang merah. Tapi, ini sudah kami ajukan ke Dinas Pertanian Kabupaten Bantul agar  bisa direalisasikan,” kata dia. 

Terkait rencana KBI yang akan membangun SRG di desa mereka. Jurianto mengaku senang. Karena, dengan adanya SRG petani dapat mempertahankan harga jual komoditas pertanian mereka dan dapat memperoleh pinjaman sebagai modal usaha.

“Semoga KBI dapat merealisasikan SRG tersebut segera mungkin,”  ucap Jurianto tersenyum.* (junita sianturi)