Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Indonesia Penangkap Hiu dan Pari Terbesar, Ini Langkah KKP Melindunginya

Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Sjarief Widjaja pada acara Simposium Hiu dan Pari ke-3 di Indonesia, bertema ‘Penguatan Kolaborasi dan Sinergi dalam Pengelolaan Hiu dan Pari’, 7-8 April 2021, secara daring dan luring. suaratani.com - ist
 

SuaraTani.com – Jakarta| Populasi ikan hiu dan pari di seluruh dunia turun drastis berkisar 70% selama 50 tahun terakhir. Penangkapan ikan secara berlebih menjadi ancaman terbesar kepunahan ikan laut. Indonesia menjadi negara dengan penangkapan hiu dan pari terbesar di dunia, mencapai 12,31% atau 88.790 ton per tahun. 

Terbatasnya informasi ilmiah tentang sumber daya hiu dan pari di Indonesia sendiri masih menjadi tantangan besar bagi konservasi hiu dan pari. Sementara penyusunan kebijakan konservasi hiu dan pari tersebut harus memiliki basis kajian ilmiah yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berupaya mengelola sumber daya perikanan, termasuk hiu dan pari, secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat pesisir. 

Didukung oleh Yayasan World Wild Life Fund for Nature (WWF) Indonesia, KKP menyelenggarakan Simposium Hiu dan Pari ke-3 di Indonesia, bertema ‘Penguatan Kolaborasi dan Sinergi dalam Pengelolaan Hiu dan Pari’, 7-8 April 2021, secara daring dan luring. Simposium guna mengumpulkan masukan ilmiah bagi kebijakan konservasi hiu dan pari di Indonesia.

Dalam paparan berjudul ‘Arah Kebijakan Riset Hiu dan Pari di Indonesia’, Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Sjarief Widjaja menerangkan bahwa jumlah biodiversity hiu dan pari di dunia berjumlah 531 jenis. Indonesia memiliki kurang lebih 118 jenis di dalamnya. 

Spesies hiu endemik khusus yang spesifik ada di Indonesia, salah satunya adalah Squalus Hemipinnis, yang berada di wilayah selatan Bali, Lombok dan laut Jawa. Di Selat Makassar, juga terdapat spesies hiu Apristurus Sibogae. 

Selain itu terdapat spesies hiu endemik lainnya seperti Squatina Legnota, Atelomvcterus Baliensis, dan Mustelus Widodoi, yang juga berada disekitar wilayah Laut Jawa, Bali dan Lombok atau di sekitaran Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 572.

“Sebagai puncak rantai makanan, hiu rentan akan kepunahan karena memiliki kapasitas reproduksi yang rendah, frekuensi melahirkan yang minim, pertumbuhan lambat serta umur yang panjang,” ucap Sjarief dalam keterangan tertulisnya, Kamis (8/4/2021), di Jakarta.

Dikatakannya, beragam ancaman juga menjadi faktor punahnya hiu, antara lain disebabkan penangkapan yang tidak lestari, penurunan populasi, kerusakan habitat perubahan lingkungan, seperti sampah laut dan pariwisata yang tidak bertanggung jawab. 

“Semakin banyak kita mendatangkan wisatawan di suatu daerah, maka ancaman terhadap populasi komponen ekosistem yang ada di daerah tersebut semakin tinggi peluang untuk rusaknya,” tegas Sjarief.

Dari ancaman tersebut, KKP mengambil langkah upaya melindungi sumber daya hiu dan pari yang dibagi ke dalam empat klasifikasi. Pertama, status Red List International Union for the Conservation of Nature (IUCN), dengan komposisi rentan 30-50 persen, terancam 50-70 persen, sangat terancam 80-90 persen, punah di alam dan punah. 

Klasifikasi kedua yakni CITES, yang digolongkan ke dalam Appendik I, II, dan III. Klasifikasi ketiga, yakni sumber daya yang dilindungi berdasarkan Permen KP ataupun Kepmen KP, seperti Permen KP No.59/PERMEN-KP/2014 dan Kepmen KP No.76/KEPMEN-KP/2020. 

Klasifikasi terakhir yakni berdasarkan Rencana Aksi Nasional (RAN)/ National Plan of Action (NPOA) tahun 2021-2025. Beberapa spesies hiu dan pari yang mendapat perlindungan penuh adalah Pari Gergaji, Pari Sentani, Hiu Sentani, Hiu Paus, Hiu Tutul, Hiu Bodoh, serta Pari Manta. 

Bagi pihak-pihak yang menangkap, membunuh, memelihara, menyimpan dan memperdagangkan, dapat dikenakan sanksi penjara selama 6 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.

Sjarief pun meminta agar data dari hiu dan pari yang dilindungi dapat disosialisasikan, dengan menempel gambar-gambar tersebut di lokasi penangkapan ikan, pasar ikan, atau wilayah-wilayah sekitar penangkapan. 

“Tentu sosialisasi ini jangan dilaksanakan di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Tetapi di lokasi pemetaan hiu dan pari ini berada. Di situlah lokasi yang harus dilakukan pengawasan dari pemerintah, NGO, untuk meningkatkan public awareness. Campaign ini harus dilakukan dengan tepat, di daerah yang tepat dengan menggunakan bahasa-bahasa lokal, pendekatan kearifan lokal, agar pesannya dapat tersampaikan dengan baik,” jelas Sjarief.

Dijelaskannya, saat ini, BRSDM juga tengah melaksanakan riset mendalam di Teluk Lampung, dan ditemukan bahwa juvenile hiu dan pari tertangkap bycatch oleh nelayan saat mereka menangkap ikan-ikan lain. Karenanya KKP terus berusaha menentukan alat tangkap apa yang mampu mensortir spesies-spesies yang tidak diinginkan.

“Kita sudah punya alat tangkap jaring yang bisa mensortir penyu yang tertangkap. Saat ini bagaimana kita berpikir teknologi apa yang dibangun untuk bisa mensortir hiu dan pari agar tidak ikut tertangkap bycatch. Ini adalah riset yang akan kita kembangkan ke depan,” papar Sjarief.

Berdasarkan penelitian tersebut, juga diketahui kriteria ekosistem yang dapat memberikan kesempatan pada hiu dan pari untuk berkembang, yakni dengan suhu: 25,09 – 30,60 C, salinitas: 31,47 – 34,83 PSU, kedalaman: 13,46 – 65,81 m, substrat: lumpur, pasir, dengan makanan berupa ikan, crustacea, dan moluska. 

Berdasarkan hasil tangkapan nelayan dan analisis habitat, maka perairan Lampung yang dijadikan area kajian diduga kuat sebagai habitat asuhan (nursery ground) hiu dan pari. * (putri)