Melalui Ketua KPH IV Balige, Leonardus Sitorus, KPH yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Sumatera Utara (Sumut) tahun 2016 ini menyebutkan, secara hukum wilayah Natumingka masih berada di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) TPL.
Sehingga perusahaan pengelola pemanfaatan hasil hutan dibebankan untuk melakukan pengawasan dan pengamanan lahan. Bila tidak dilakukan, maka akan dievaluasi.
Leonardo menyebutkan, Natumingka mulai dari lahan register sudah merupakan kawasan hutan. Dalam SK Menteri Kehutanan (Menhut) tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1984, kawasan ini menjadi kawasan Hutan Produksi.
“Kemudian hal tersebut juga diatur dalam SK Menhut nomor 44 tahun 2005 yang menyebutkan kasawasan tersebut menjadi kawasan hutan lindung,” ungkap Leonardo Sitorus, ketika dihubungi, Rabu (26/5/2021).
Leonardo menjelaskan, SK Menhut nomor 44 tahun 2005 kembali direvisi dan diganti dengan SK Menhut Nomor 579 tahun 2014 yang menyebutkan, kawasan tersebut kembali menjadi kawasan Hutan Produksi (HP) tetap, dan dilakukan tapal batas sehingga dikembalikan fungsi awalnya.
Setelah itu, kementrian kembali mengeluarkan SK Menhut nomor 1076 tahun 2017 tentang Perkembangan Pengukuhan kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara.
Dalam surat keputusan tersebut dikatakan wilayah Natumingka adalah kawasan Hutan Produksi, sehingga tetap masih dikelola oleh perusahaan (TPL).
“Pemerintah juga mengeluarkan SKMenhut nomor 8088/Menlhk-PKTI/KUH/PLA.2/11/2019 tentang perkembangan tapal batas kawasan hutan di provinsi Sumut, isinya kawasan Natumingka tetap dalam lahan konsesi TPL dan dibebankan untuk menjaga kemanan dan pengawasan,” terangnya.
Leonardo Sitorus juga menyebutkan, pihaknya telah melakukan investigasi dan inventarisir, terhadap kawasan Natumingka yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyarakat.
Termasuk keberadaan situs makam, bekas persawahan dan bekas perladangan. Hasilnya memang kawasan tersebut adalah wilayah konsesi (HTI) perusahaan.
Hasil investigasi dan inventarisasi dari KPH IV Balige telah disampaikan melalui surat kepada masyarakat Natumingka, dan ditembuskan ke sejumlah instansi terkait termasuk pihak
Namun untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, KPH IV Balige memberikan rekomendasi diantara kedua belah pihak.
Untuk masyarakat, KPH merekomendasikan masyarakat harus mengurus klaim hutan adat secara legal formal. Ketika telah ditetapkan oleh menteri bahwa kawasan tersebut adalah hutan adat, maka masyarakat dapat mengelola kawasan yang dimaksud sebagai hutan adat.
Atau bila masyarakat mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik keturunan ompung (Nenek Moyang) mereka, maka dapat dilakukan pelepasan kawasan hutan melalui Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) sesuai persyaratan dan undang-udang yang berlaku.
“Selagi belum ada penetapan dari yang berwenang, tentunya status hukum kawasan hutan tersebut adalah hutan produksi tetap yang dibebankan kepada TPL sesuai dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTI TPL,” terangnya lagi.
Sementara untuk TPL, KPH IV Balige meminta perusahaan melaksanakan kegiatan kemitraan dengan pola tumpang sari atau sejenisnya yang sesuai dengan peraturan Menteri Kehutanan.
Dalam hal ini pihak perusahaan (TPL) melakukan kegiatan sesuai dengan hak serta kewajibannya, melakukan kemitraan dengan masyarakat dengan tidak mengganggu sejumlah situs yang telah diinventarisir oleh pihak KPH IV Balige.
“TPL melakukan hak dan kewajibannya dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat sesuai peraturan dan perundang-undangan,” tutupnya. *(ika)