Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dialog Publik Ombudsman, Tata Kelola Pupuk Subsidi Penyebab Terjadinya Kelangkaan Pupuk

Para peserta Dialog Publik “Potensi Maladministrasi dalam Tata Kelola Pupuk Bersubsidi” yang difasilitasi Ombudsman RI, Jumat (24/9/2021). suaratani.com - ist

SuaraTani.com– Medan| Tata kelola pupuk subsidi yang dinilai bermasalah menjadi salah satu penyebab terjadinya kelangkaan pupuk dan rendahnya serapan pupuk bersubsidi di tingkat petani di tanah air. 

Hal tersebut mencuat dalam Dialog Publik “Potensi Maladministrasi dalam Tata Kelola Pupuk Bersubsidi” yang difasilitasi Ombudsman RI, Jumat (24/9/2021). Adapun pemantik diskusi Yeka Hendra Fatika selaku anggota Ombudsman RI dan Kepala Keasistenan Ombudsman RI, Tri Yoga Muhtar Habibi sebagai pemandu diskusi. 

Sementara peserta diskusi diikuti sekitar 171 participants dari seluruh Indonesia dan dari berbagai unsur,  seperti Dinas Pertanian, pelaku usaha, asosiasi, distributor pupuk, pengamat pertanian, produsen pupuk bersubsidi, kios, dan media. 

Dari diskusi yang dimulai sekira pukul 14.00 wib tersebut, banyak isu yang terungkap, seperti pro kontra  pemberian pupuk subsidi yang minta dihentikan tapi ada juga yang ingin tetap dipertahankan. Namun, secara umum masalah yang muncul dalam pendistribusian pupuk bersubsidi ke petani adalah terkait tata kelola. 

Seperti yang disampaikan peserta Rismauli Nadeak yang juga distributor pupuk bersubsidi di Sumatera Utara (Sumut). Menurutnya, ketersediaan pupuk bersubsidi sangat cukup namun tidak bisa ditebus karena petani tidak masuk dalam e-RDKK.  

Dikatakannya, kelangkaan pupuk terjadi dikarenakan alokasi yang disubsidi lebih kecil daripada rekomendasi pemakaian pupuk. 

“Untuk saat ini kelangkaan pupuk terjadi kepada petani yang namanya tidak terdaftar di e-RDKK. Kenapa namanya tidak terdaftar  bukankah yang menginput data-data itu Dinas Pertanian dalam hal ini petugas pertanian di lapangan,” jelasnya.

Terkait masalah kualitas pupuk subsidi menurut Risma, kualitas pupuk bersubsidi sama dengan pupuk non subsidi.  

Terhadap pengecer pupuk yang diangkat distributor menurut Risma, adalah pengecer yang membawa e-RDKK.  E-RDKK dikerjakan oleh Dinas Pertanian, secara tidak langsung pengecer tersebut sudah disetujui oleh Dinas Pertanian. 

Risma juga menyampaikan persoalan  kios pupuk yang diminta dibedakan antara kios pupuk bersubsidi dengan non subsidi. Menurutnya,  tidak perlu dibedakan, karena pupuk subsidi sudah dibedakan dari segi warna.

Mengenai rendahnya serapan pupuk subsidi juga disampaikan Junita Sianturi dari media online SuaraTani.com. Menurutnya, sampai dengan Agustus 2021, serapan pupuk subsidi di Sumut masih di bawah 50%. Bahkan untuk jenis pupuk ZA dan SP-36 masing-masing masih berkisar  31,70% dan 38,87%. 

Rendahnya serapan kedua jenis pupuk subsidi tersebut ternyata dikarenakan pupuk tersebut tidak lagi diperuntukan bagi tanaman pajale (padi, jagung dan kedelai). 

“Pupuk ZA dan SP-36 untuk komoditi di luar pajale,” jelasnya.

Kebijakan seperti ini menurutnya, harus disosialisasikan terlebih dahulu. Begitu juga dengan pengentrian data-data petani ke dalam e-RDKK. 

“Regulasi atau sistem yang dibuat pemerintah haruslah mudah diadopsi petugas di lapangan sehingga petani dapat menebus pupuk ke kios-kios. Intinya data-data harus diperbaiki,” jelas Junita Sianturi.

Menanggapi masukan yang diberikan para participants, Yeka Hendra Fatika mengatakan, bahwa dalam diskusi ini Ombudsman RI belum meyimpulkan adanya maladiministrasi terhadap pendistribusian  pupuk bersubsidi. Namun, Ombudsman akan membentuk tim khusus untuk melakukan kajian lebih dalam terhadap ada tidaknya maladministrasi.

Yeka juga mengatakan, kebijakan pupuk subsidi itu untuk apa? Apakah untuk meningkatkan produksi? Apakah untuk  membantu petani? Kalau untuk membantu petani, pertanyannya sejauh mana pemerintah membantu petani?

Adapun kesimpulan dari diskusi yang disampaikan Dadan S Suharmawijaya (anggota Ombudsman RI), antara lain ada kelangkaan pupuk, ada serapan pupuk yang tidak optimal da nada kuota pupuk subsidi yang tidak cukup. * (ika)