Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Harga Cabai Diprediksi Masih Bergejolak di 2022

Harga cabai merah diprediksi masih akan berfluktuasi di tahun 2022. Kondisi ini nantinya diprediksi akan menyulitkan pengendalian inflasi Sumut.suaratani.com-dok

SuaraTani.com – Medan| Komoditas cabai biasanya menjadi komoditas yang paling sering berfluktuasi, sehingga membuat pengendalian inflasi di Sumatera Utara (Sumut) mengalami kesulitan. Tetapi di tahun ini, fluktuasi harga cabai khususnya cabai merah cukup terkendali. Dimana rekor harga yang paling mahal ada dikisaran Rp50 ribu per kilogram (kg), dan level yang terendah ada dikisaran angka Rp18 ribu per kg nya.

Sementara itu, terjadi fluktuasi yang cukup besar pada komoditas cabai rawit. Di awal tahun, cabai rawit sempat menyentuh Rp90 ribu per kg untuk kemudian sempat berada di level terendah Rp24 ribu per kg. Meski demikian, sumabangan inflasi yang dihasilkan dari kenaikan harga cabai rawit, masih kalah jauh dibandingkan dengan sumbangan inflasi dari cabai merah.

Pemerhati ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin mengatakan,cabai merah kerap merepotkan saat berfluktuasi, dan tidak jarang memicu terjadinya inflasi yang besar. Hanya saja cabai merah maupun komoditas cabai pada umumnya dihasilkan dari produksi dalam negeri. 

“Sehinga hampir semua sentimen atau faktor-faktor pembentukan harga  didominasi oleh faktor internal,” kata Gunawan di Medan, Minggu (5/12/2021).

Fluktuasi harga cabai menurut Gunawan umumnya dipicu oleh masalah produksi yang kerap terganggu oleh cuaca. Di Sumut, longsor dan cuaca buruk yang mengganggu produksi dan jalur distribusi dari Tanah Karo turut memicu terjadinya kenaikan harga komoditas cabai. 

Meskipun tidak sepenuhnya cabai dihasilkan dari Tanah Karo, namun kontribusi pembentukan harga dari Tanah Karo dan sekitarnya sangat dominan dibandingkan dengan kontribusi pembentukan harga dari wilayah lain.

Untuk cabai sendiri selain dari Tanah Karo dan sekitarnya, juga kerap didatangkan dari wilayah lain. Umumnya dari wilayah Deliserdang, Batubara, Aceh, maupun dari Pulau Jawa. Kehadiran cabai dari wilayah luar tersebut yang menjadi salah satu pemicu penurunan harga cabai di Kota Medan. 

“Harga cabai di tahun 2021 yang sempat menyentuh level Rp50 ribu per kg, itu lebih dikarenakan oleh pasokan yang bergantung hampir 100% dari Tanah Karo,” terangnya.

Untuk di tahun depan, Gunawan berpendapat kalau cabai akan terus berfluktuasi. Produktivitas tanaman cabai tidak akan banyak dipengaruhi oleh perubahan kurs mata uang Rupiah, pemulihan kinerja ekonomi global, termasuk juga adanya varian Covid 19 Omicron. Cabai akan lebih banyak dipengaruhi oleh cuaca, jalur distribusi, pasokan dari luar wilayah Sumut, serta pola tanam petani.

Kalau tren konsumsi cabai relatif stabil setiap harinya. Jadi keberhasilan dalam mengendalikan harga cabai justru sangat bergantung pada keberhasilan dalam hal penyediaan pasokannya itu sendiri. 

“Selama pasokan terkendali, maka harga cabai akan bergerak stabil dan tidak memicu terjadinya kenaikan harga yang ekstrim, yang bisa memicu terjadi kenaikan laju tekanan inflasi,” sebutnya.

Untuk itu pemerintah harus lebih bisa mengendalikan sisi pasokan dengan menjaga produksi di tingkat petani, menjaga jalur distribusi. Tetapi masih ada beberapa hal yang mungkin sulit untuk dikendalikan. Diantaranya adalah adanya ketimpangan permintaan cabai antar wilayah. 

“Nah kondisi cuaca antar wilayah yang berbeda, serta kebutuhan cabai di luar wilayah bisa memicu terjadinya gangguan pasokan di Sumut. Inilah salah satu masalah atau tantangan yang dihadapi dalam pengendalian harga cabai setiap tahunnya. Kalau bicara pasokan dari wilayah Sumut memang selalu tersedia, namun tidak bisa menjamin 100% adanya kestabilan harga,” pungkasnya. *(ika)