SuaraTani.com – Medan| Bank Indonesia (BI) pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar Selasa (24/5/2022) tetap mempertahankan besaran suku bunga acuannya atau BI 7 DRR di angka 3.5%.
Kebijakan tersebut diambil justru saat The FED atau Bank Sentral AS telah menaikkan besaran bunga acuannya. Dan bahkan diperkirakan akan menaikkan lagi bunga acuannya di masa yang akan datang. Tidak tanggung-tanggung, bahkan The FED menaikan bunga acuannya sebesar 50 basis poin sebelumnya.
Kebijakan yang diambil BI saat ini menurut Analis Keuangan Sumatera Utara (Sumut), Gunawan Benjamin memang Pro Growth atau Pro Pertumbuhan. Artinya BI terus menciptakan bunga yang stabil agar pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh di tengah tekanan inflasi yang naik signifikan belakangan ini.
“Kebijakan tersebut memang layak diapresiasi, tetapi apa yang diambil BI saat ini adalah kebijakan yang bukan tanpa resiko,” kata Gunawan di Medan, Selasa (24/5/2022)..
Gunawan menilai, langkah BI yang yang tidak sama dengan banyak negara lainnya, bisa diibaratkan menentang badai. Hal ini tergambar dari babak belurnya kinerja IHSG dan rupiah setelah libur panjang Idulfitri kemarin. IHSG merosot lebih dari 4% setelah libur panjang, sementara mata uang rupiah sempat menembus 14.700 per US Dolar.
“Pada hari ini, IHSG memang ditutup naik 1.07% di level 6.914,14. Sementara mata uang Rupiah terpantau stabil dikisaran 14.670-an per US Dolar, tetapi yang perlu kita ketahui adalah bahwa kebijakan penetapan suku bunga acuan pada hari ini diambil menjelang atau berbarengan dengan penutupan perdagangan di bursa saham,” sebutnya.
Jadi dampak dari kebijakan BI tersebut belum begitu di rasakan oleh pasar keuangan domestik. Namun memang ada kemungkinan pasar keuangan domestik akan tetap kokoh. Tetapi ada minute dari FOMC di akhir pekan ini. Dan jika The FED masih mengindikasikan bahwa akan ada kenaikan bunga lanjutan secara agresif, bukan tidak mungkin IHSG dan rupiah kembali tertekan di akhir pekan.
Gunawan mengaku sudah melihat bahwa BI tidak akan lantas merespon kenaikan bunga acuan global. Tetapi tetap harus bersiap bahwa ada kemungkinan tekanan jangka pendek di pasar keuangan. Rupiah dan IHSG kembali rawan untuk terkoreksi, meskipun dengan melihat fundamental ekonomi banyak Negara besar yang rapuh dihantam inflasi tinggi.
Bukan tidak mungkin apa yang diambil BI justru langkah yang sudah pada jalur yang benar untuk menjaga momen pertumbuhan. Kenaikan bunga yang agresif dari Negara lain berpeluang menciptakan kemungkinan resesi nantinya bagi Negara itu sendiri. Karena kenaikan bunga acuan diambil ditengah kenaikan harga volatile food yang lebih banyak dipicu karena gangguan supply akibat perang.
“Bukan dikarenakan adanya demand yang kuat, buah dari pertumbuhan ekonomi yang membaik. Yang perlu diingat adalah bahwa dengan kebijakan BI tersebut bukan lantas kita beberapa masalah ekonomi nasional hilang. Kita tetap dalam ancaman inflasi tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang berpeluang di revisi ke bawah. Jadi tantangan kedepan masih banyak,” pungkasnya.*(ika)