SuaraTani.com - Medan| Keberadaan populasi Kerbau Perah (Murrah, Surti, Nili-Ravi dan silangannya) di Tanah Air khususnya di Sumatera Utara (Sumut), semakin terancam.
Data menunjukkan hanya tersisa sekitar 350 ekor populasi kerbau yang tersebar di delapan peternakan keluarga di Kabupaten Deliserdang dan Serdang Bedagai.
Jumlah ini jauh di bawah ambang batas viable population (500 ekor) menurut FAO, sehingga mengancam keberlanjutan genetik dan potensi ekonominya.
Hal tersebut terungkap dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang bertema "Menyelamatkan Kerbau Perah di Sumatera Utara" Kerjasama Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian USU dengan LATERAL, Jumat (18/7/2025) di ruang seminar, Fakultas Pertanian, USU, Medan.
Acara FGD tersebut dihadiri Direktur Lateral Dr Saruhum Rambe SSi MSi, Ketua Dewan Pengawas Lateral, Dr Abdullah Akhyar Nasution, perwakilan dari Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTUHPT) Siborongborong, Morina Girsang SPT.
Hadir juga perwakilan Dinas Pertanian Deliserdang, Dinas Pertanian Serdang Bedagai (Sergai) dan para praktisi kerbau di Sumut.
Menurut Ketua Dewan Pengawas Lateral, Dr Abdullah Akhyar Nasution, beberapa masalah utama yang dihadapi para peternak kerbau di Sumut yakni, Pertama, populasi terfragmentasi, di mana kepadatan rendah (0,42 ekor/km²) dan risiko isolasi genetik.
Kedua, lanjut Akhyar, manajemen yang masih tradisional, yakni pola peternakan turun-temurun tanpa program pemuliaan atau pencatatan genetik.
Ketiga, hambatan ekonomi-teknis, yakni lahan gembala berkurang, teknologi terbatas, dan margin keuntungan rendah yakni antara 12-15%.
Keempat, potensi yang tidak termanfaatkan di mana susu kerbau kaya gizi (protein 4,5%, kalsium 210 mg/100g) berpotensi turunkan stunting, namun belum terintegrasi dalam program kesehatan atau industri olahan.
"Itulah alasannya FGD ini dibuat untuk menyadarkan semua pihak tentang urgensi penyelamatan Kerbau Perah melalui kolaborasi multipihak," kata Akhyar yang melakukan penelitian tentang sistem peternakan tradisional kerbau,
Akhyar mengatakan, di Italia kerbau perah itu dianggap seperti emas dan susunya diolah menjadi keju mozarella. Kemudian, di Aceh sudah menggunakan susu kerbau untuk kopi sanger.
Dalam FGD tersebut sejumlah praktisi kerbau di Sumut menyampaikan sejumlah permasalahan yang mereka hadapi.
Peternak kerbau perah di Sungai Merah, Tanjungmorawa, Rajeh Lalpur, mengatakan selain ketersediaan benih unggul yang minim peternak juga menghadapi pakan hijauan yang sangat terbatas akibat keterbatasan lahan penghijauan.
Sementara pihak perkebunan tidak mengizinkan kerbau peternak untuk digembalakan di areal perkebunan milik perusahaan yang ada di sekitar peternakan.
"Lewat forum ini kami berharap ada campur tangan pemerintah kepada kami selaku peternak kerbau. Bagaimana caranya agar ternak kerbau kami bisa digembalakan di areal perkebunan milik perusahaan baik PTPN maupun swasta. Selama ini kami tidak dikasih untuk menggembalakan kerbau kami," katanya.
Menurut Rajeh, kerbau perah yang mereka budidayakan akan menghasilkan produksi susu yang lebih banyak dibanding jika hanya dikandangkan.
"Itu yang kami alami, kalau kerbau hanya dikandangkan produksi susunya sedikit berbeda jika dilepas," jelasnya.
Ia juga mengeluhkan diversifikasi atau pengolahan susu kerbau yang dihasilkan.
"Kami hanya menjual dalam bentuk segar untuk dikonsumsi, selain itu tidak ada pengolahan lebih lanjut. Misalnya dibuat sebagai keju mozzarella seperti yang dilakukan di luar negeri," jelasnya.
Avtar Singh, peternak kerbau lainnya mengatakan beternak kerbau murrah ini seperti mengurus bayi, biaya obat tinggi, pemasaran susu masih terkendala. Tapi kalau didukung dengan penyediaan lahan, pihaknya bisa mengembangkan jumlah populasi kerbau murrah tersebut.
Selamatkan Kerbau Perah
FGD yang dibuka Ketua Program Studi Peternakan USU, Dr Ma’ruf Tafsin mengatakan sapi perah di Sumut yang menjadi ikon di daerah ini harus dijaga kelestariannya agar tidak punah.
Diakuinya, populasi sapi perah ini menurun salah satunya karena manajemen peternak yang tak mendukung atau masih menerapkan manajemen tradisional yakni pola peternakan turun-temurun tanpa program pemuliaan atau pencatatan genetik.
Direktur LATERAL Dr Saruhum Rambe MSi juga mengatakan, untuk menyelamatkan kerbau perah dari kepunahan di Sumut membutuhkan kerja sama dengan peternak, melakukan pengkajian dan penelitian dengan pihak akademisi (USU), kerja sama dengan pemerintah, swasta dan media.
Koordinator Pengawas Bibit Ternak Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTUHPT) Siborongborong, Morina Girsang SPT mengakui potensi ekonomi kerbau perah sangat menjanjikan, sehingga populasi kerbau ini harus diselamatkan.
Disebutkan, di Tapanuli Utara (Taput) permintaan susu kerbau tak bisa terpenuhi, karena keterbatasan produksi susu mereka yang masih menternakkan 100 ekor, sehingga pembeli antri untuk kebutuhan dalih horbo (kerbau).
Fuad Hasan SPt MSi selaku PIC FGD mengatakan masalah yang dihadapi peternak sapi perah yakni pemasaran susu, keterbatasan lahan dan bibit. Untuk itu, perlunya kerja sama dengan perusahaan atau lembaga untuk menampung susu (menjamin pasar).
Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Sergai Taruli S Purba mengatakan pihaknya siap membantu peternak yang tergabung dalam kelompok. Pengobatan bisa dibantu dengan menurunkan petugas.
“Kami siap berkolaborasi dan diijinkan masuk ke peternakan,” katanya.
Pengawas Mutu Hasil Pertanian, Dinas Pertanian Deliserdang Amriyadi setuju untuk mempertahankan plasma nuftah tersebut. Pihaknya siap membantu obat, penyediaan pakan dan kandang asal masuk kelompok peternak.
“Masalah peternakan, soal ketersediaan lahan. Bagaimana cara mengembalakan ternaknya dan itu bertentangan dengan sektor perkebunan, terkait ganoderma. Kami berharap berdampak baik kepada peternak dan tidak merugikan perkebunan. Integrasi peternak dan perkebunan sudah diatur dan ada peraturan daerahnya,” katanya. * (junita sianturi)