SuaraTani.com - Sumba Timur| Di tengah perbukitan kering Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), rutinitas malam selama bertahun-tahun berlangsung dalam keterbatasan penerangan.
Saat matahari tenggelam, rumah-rumah kembali temaram, sinar pelita tak sanggup memberikan kebebasan ruang belajar anak-anak, menunda pengobatan, dan memadamkan peluang usaha kecil yang butuh aliran listrik.
Hari ini, Rabu (29/10/2025), harapan itu menyala. Di Kantor Kecamatan Mahu, acara sederhana menandai babak baru kehidupan warga Wairara. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Wairara resmi beroperasi.
Pembangkit dari aliran sungai tersebut bagian dari program "Merdeka dari Kegelapan" yang diinisiasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Saya guru berterima kasih karena telah dibangun PLTMH di desa Wairara. Karena ada listrik tidak hanya membantu masyarakat, tapi kami sebagai guru juga bisa mengajar mengenalkan anak-anak kami dunia luar secara umum. Sekali lagi terima kasih atas kebesaran Bapak Menteri dan juga Bapak Presiden Prabowo Subianto juga jajarannya," jelas Agus, warga Wairara.
PLTMH Wairara berkapasitas 128 kW, memanfaatkan aliran Sungai Pakuhuay. Dari sana, arus kecil yang tak mencolok kini mengalirkan listrik ke 105 sambungan.
Meliputi rumah tangga, sekolah, Puskesmas, kantor kecamatan, kantor desa, hingga rumah ibadah. Setiap sambungan penuh makna bagi warga. Lampu yang tak lagi padam, lembar tugas yang bisa dikerjakan malam hari, dan mixer kecil yang membuka jalan usaha rumahan.
"PLTMH Wairara ini dikelola oleh BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), ini juga merupakan bagian penguatan kegiatan yang ada di desa. Jadi dengan adanya pengelolaan oleh BUMDES, justru perawatan terhadap PLTMH ini bisa berjalan dengan baik," ujar Wakil Menteri ESDM Yuliot saat meresmikan.
Dari sisi ekonomi energi, pergeseran ini terasa nyata. Sebelumnya, ketergantungan pada PLTD menghabiskan hingga sekitar 62 ribu liter BBM per tahun untuk wilayah tersebut.
Kini, dengan energi air mikro, biaya produksi listrik dipangkas hingga sekitar USD0,03 per kWh. Selisih ini membuat kas desa dan kantong warga sedikit lebih lega.
"Dari sisi geografis justru kalau kita pakai diesel itu 1 liter sekitar 20 ribu sampai di tempat. Kalau ini (PLTMH), kita tidak memerlukan diesel, justru ada kesinambungan. Kalau menggunakan diesel jam nyala itu kan juga terbatas. Kalau ini kan bisa 24 jam nyala sesuai dengan kebutuhan masyarakat," imbuh Yuliot.
Yuliot melihat PLTMH ini sebagai pemicu usaha produktif: tenun ikat yang bisa dijahit lebih lama, pengerjaan produksi rumahan yang tak lagi tergantung matahari, dan kelas malam bagi anak-anak yang ingin mengejar pelajaran tambahan.
Menurutnya, akses energi bersih ini bukan hanya soal terang. Ini membuka peluang ekonomi baru, termasuk mendorong usaha produktif masyarakat seperti pengembangan tenun ikat khas Sumba Timur, layanan pendidikan malam hari, dan kegiatan usaha rumah tangga yang selama ini terhambat keterbatasan listrik.
"Wairara menjadi desa pertama di kawasan ini yang benar-benar merdeka dari kegelapan," tambah Yuliot.
Dampak ini juga dirasakan oleh seorang ibu di Pegunungan Arfak, Papua Barat. Kehadiran PLTMH Anggi bagi Nasmila Doan Sibae membantunya melanjutkan pendidikan anak-anak di rumah setelah jam sekolah usai.
Program Pembangunan PLTMH Anggi Tahap I dan II merupakan langkah strategis dari Kementerian ESDM untuk mewujudkan Kabupaten Pegunungan Arfak sebagai satu-satunya Kabupaten di Indonesia yang 100% energi listriknya disupplai oleh pembangkit energi bersih.
Pemerintah memahami bahwa listrik harus dikelola, dipelihara, dan dimanfaatkan sebaik mungkin agar manfaatnya berkelanjutan bagi masyarakat. * (wulandari)


