SuaraTani.com – Medan| DPP Horas Bangso Batak (HBB) meminta Kapolri menerbitkan Pedoman Penanganan Perkara Tentang Penistaan Agama atau Keputusan Bersama antara Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman yang di susun bersama dengan ahli hukum.
Hal ini terkait dengan banyaknya polemik tentang Pasal Penistaan Agama yang terjadi akhir-akhir ini, seperti kasus empat tenaga kesehatan (nakes) di RS Djasamen Saragih Pematangsiantar yang mengundang keprihatinan bagi banyak kalangan.
“Tak seharusnya tenaga kesehatan yang hanya memandikan jenazah ditetapkan tersangka oleh Kepolisian walaupun akhirnya dihentikan penuntutannya oleh Kejaksaan,” kata Ketua Umum HBB Lamsiang Sitompul, SH MH dalam keterangan tertulisnya, Jumat (25/2/2021), di Medan.
Dikatakannya, sejumlah perkara yang menjerat para tersangka pasal Penistaan Agama hingga saat ini masih multi tafsir di tengah masyarakat bahkan bagi kalangan ahli hukum sendiri.
Kerap orang-orang yang ditersangkakan dan dihukum dengan pasal penistaan agama justeru sesungguhnya merasa tidak melakukan perbuatan sesuai dengan rumusan pasal penistaan agama.
Untuk mencegah hal seperti itulah, HBB meminta Kapolri menerbitkan Pedoman Penanganan Perkara Tentang Penistaan Agama atau Keputusan Bersama antara Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman yang di susun bersama dengan ahli hukum.
“Pedoman itu untuk mencegah adanya kesan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan dengan Pasal Penistaan Agama,” kata Lamsiang.
Ia melihat banyaknya opini yang terjadi justeru pasal 156 (a) KUHP itu sering dimanfaatkan sekelompok orang untuk mengkriminalisasi orang lain dengan memaksakan penafsiran pasal penistaan agama menurut pendapatnya.
"Karena kalau kita lihat orang-orang yang ditersangkakan dengan pasal ini sejujurnya tidak melakukan satu perbuatan sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam undang-undang itu," ujarnya.
Dijelaskannya, kalau dibaca Pasal tentang Penistaan Agama sesuai pasal 1 UU No 1/PNPS/1965 menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu".
Jika mencermati isi undang-undang itu bahwa penistaan agama adalah tindakan yang menganjurkan atau melakukan kegiatan ajaran agama yang menyimpang dari ajaran agama tertentu. Sebenarnya, menurut Lamsiang, penistaan agama lebih kepada ajaran sesat seperti kasus Lia Eden ataupun Akhmad Musadeq.
Banyak kasus-kasus yang selama ini dituduh menista agama justru jadi polemik di masyarakat. Misalnya kasus Arswendo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di DKI, Meiliana di Tanjung Balai, dan lain-lain.
Untuk itu, pihaknya menyarankan agar Kapolri bersama Kejaksaan, Kehakiman dan ahli hukum pidana untuk membuat Pedoman Penanganan Perkara Tentang Penistaan Agama itu.
“Orang sering merasa dikriminalisasi dengan pasal itu. Jadi biar jangan jadi polemik perlu pemahaman kepada publik," ujarnya.
Dengan keputusan bersama Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman serta Ahli Hukum Pidana itulah nantinya yang menjadi acuan kepada semua Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim dalam menangani perkara agar jangan sampai ada kesan orang di kriminalisasi dengan Pasal Penistaan Agama.* (junita sianturi)