Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ketika Combaine Hervester Turut Merontokan Pekerjaan Buruh Tani

Operator combaine harvester saat melakukan panen padi di Desa Aman Damai, Kecamatan Sirapit, Kabupaten Lanagkat, Sumatera Utara, Rabu (14/4/2021). suaratani.com - junita sianturi

SuaraTani.com – Sirapit| Hamparan sawah menguning terlihat dengan jelas sejauh mata memandang. Para pekerja yang sebagian besar merupakan buruh tani  baik wanita maupun kaum pria terlihat dengan gesit  mengarit padi-padi tersebut. Sebagian lagi mengangkat padi yang telah diarit untuk kemudian dimasukan ke dalam mesin perontok, thresher. 

Pemadangan itu sangat berbeda dengan panen yang dilakukan di lahan sawah yang ada di sebelahnya. Hanya ada beberapa pria yang terlihat sibuk mengikat karung-karung besar berisi gabah dan potongan jerami. Sementara panen dilakukan dengan mesin berjalan, yakni combaine  harvester. terlihat begitu cepat mengalahkan tenaga puluhan tenaga kerja manusia.  

Ketika dihampiri Kepala UPT Perlindungan Tanaman dan Hortikultura Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Utara (TPH Sumut), Mariono, Saidun pemilik thresher mengatakan, ada yang dirugikan dengan penggunaan combaine.

Menurutnya, dengan combaine memang pekerjaan menjadi lebih ringan, cepat dan lebih murah, tetapi di sisi lain jumlah tenaga kerja (buruh tani) yang menganggur juga menjadi lebih besar. 

“Tenaga kerja yang dipakai lebih sedikit. Dan, dengan combaine hanya kaum pria saja yang  bekerja dan itupun jumlahnya terbatas. Tetapi, dengan thresher jumlah yang bekerja bisa lebih banyak, baik wanita maupun pria. Coba lihat, ada 35 orang yang terlibat dalam memanen lahan berkisar 16 rante ini,” kata Saidun menunjuk ke arah buruh tani yang sibuk memanen di Desa Aman Damai, Kecamatan Sirapit, Kabupaten Langkat, Rabu (14/4/2021).

Untuk upah yang diterima para buruh tani tersebut, menurut Saidun berkisar 15% dari hasil panen. Sedangkan untuk biaya perontok padi (thresher) sebesar upah seorang buruh tani. 

“Jadi, kalau upah pemanen Rp50.000 per orang, ya, saya juga dibayar Rp50.000,” aku Saidun.

Salman, petani padi yang ada di Desa Aman Damai mengatakan, saat ini petani banyak yang mulai beralih menggunakan combaine untuk panen padi. Hal ini karena banyak keuntungan yang didapat petani, diantaranya cepat, petani tidak perlu menyerakan jerami dan selisih harga jual gabah berkisar Rp250-Rp300 per kilogram (kg).

Misalnya, kalau pakai thresher, harga jual gabahnya Rp4.500 per kg (pasaran gabah saat ini), tapi dengan combaine harga mencapai Rp4.800 per kg. Dan, gabah yang dihasilkan juga bersih, tidak ada sampah.  

“Upah panen juga lebih murah dibanding dengan thresher, antara tiga sampai empat persen. Kalau dengan combaine upahnya berkisar 11-12 persen  dari luas panen sementara thresher berkisar 15%. Kemudian, petani juga tidak disibukan lagi dengan membawa tikar, memberi sarapan para pekerja, karena semua sudah termasuk upah (alat combaine),” terang Saidun.

Buruh tani melakukana pemanenan menggunakan sabit di Desa Aman Damai, Kecamatan Sirapit, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (14/4/2021). suaratani.com - junita sianturi

Saidun juga mengaku, bahwa penerimaan alat canggih panen ini mendapat pro kontra dari petani. Namun, lambat laun petani yang tadinya menolak kehadiran combaine bisa menerima dan menggunakan alat tersebut.

Terkait bantuan pemerintah, Saidun mengatakan, bila panen serentak seperti sekarang ini, combaine yang ada (bantuan pemerintah) tidak cukup. 

“Makanya, kami mendatangkan beberapa unit combaine dari luar daerah, seperti dari Brandan,” kata Saidun.

Menanggapi hal ini, Marino yang didampingi Koordinator BPP Sirapit Irman, Kasi Pengamatan OPT PTPH Rukito, Koordinator Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan – Pengamat Hama Penyakit (POPT-PHP) Kabupaten Langkat, Miswandi dan POPT-PHP, Juwandi, mengatakan cepat atau lambat petani harus berhadapan dengan teknologi.

“Memang ada sisi positif dan negatifnya, itulah teknologi. Tetapi siap tidak siap, mau tidak mau, petani harus menerima perkembangan teknologi di sektor pertanian,” kata Marino.

Seperti yang terjadi saat ini, kata Marino, di satu sisi proses pemanenan dengan combaine dapat berlangsung dengan cepat, produksi yang dihasilkan pun lebih bersih, dan harga lebih mahal. Di sisi lain, tenaga manusia yang dibutuhkan semakin berkurang. Artinya, pengganguran bertambah. 

“Tetapi, kehadiran teknologi dalam pertanian ini juga untuk merangsang para milenial agar mau dan tidak gengsi terjun ke pertanian, mengingat selama ini yang tinggal di desa adalah para orangtua yang tenaganya mulai berkurang.  Alasan itu jugalah yang membuat pemerintah menggelontorkan mesin atau alat-alat pertanian canggih ke petani, seperti  mesin tanam, dan mesin pemanen. Sehingga petani tidak keropotan lagi dalam mencari tenaga kerja,” kata Marino. * (junita sianturi)