Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

130 Bencana Alam Terjadi Selama Juli, Banjir Masih Mendominasi

Data bencana yang terjadi di periode Juli 2021. sumber: bnpb

SuaraTani.com – Jakarta| Sebanyak 130 bencana alam terjadi selama periode Juli 2021. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bencana hidrometeorologi masih mendominasi, seperti banjir, angin puting beliung dan tanah longsor.  

“Sejumlah kejadian bencana tersebut telah berdampak pada jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda maupun kerusakan fasilitas umum,” kata Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam siaran persnya, Selasa (3/8/2021), di Jakarta.

Dikatakannya, data  BNPB mulai tanggal 1-31 Juli 2021  kejadian bencana tertinggi yaitu banjir dengan 53 kali, disusul dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 42, angin puting beliung 22, tanah longsor 11, gempa 1 dan kekeringan 1. 

Sejumlah kejadian ini mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak empat jiwa dan satu lainnya hilang, dengan rincian banjir dua orang, angin puting beliung dua orang dan tanah longsor satu orang. 

“Jumlah warga mengungsi pada Juli lalu sebanyak 215.865 jiwa,” terangnya. 

Selain itu, kata Abdul Muhari, bencana selama Juli 2021 mengakibatkan total jumlah kerusakan rumah sebanyak 767 unit, fasilitas umum 13 dan jembatan 29. Jumlah kerusakan di sektor pemukiman dikategorikan dalam tingkatan rusak berat dengan jumlah 232 unit, rusak sedang 255 dan rusak ringan 280. 

Sedangkan penyebab kerusakan yang dilihat dari jenis bencana, kerusakan rumah tertinggi  diakibatkan angin puting beliung sebanyak 352 unit, disusul banjir 383 dan tanah longsor 21. 

“Selain bencana hidrometeorologi, bencana geologi, yaitu gempa juga berdampak pada kerusakan rumah dengan total 11 unit. Rincian kerusakan rumah akibat gempa yaitu rusak berat 2 unit dan rusak sedang 9,” terangnya. 

Berdasarkan sebaran kejadian sebagaimana dilaporkan ke Pusdalops BNPB, khususnya banjir dan karhutla, selama Juli 2021 terpantau lima provinsi tertinggi dengan bencana banjir yaitu Aceh 9 kejadian, Kalimantan Barat 8, Sulawesi Selatan 8, Kalimantan Tengah 5, serta beberapa wilayah tercatat 4 kejadian. 

“Wilayah provinsi dengan 4 kejadian yaitu Sulawesi Tengah, Sulawersi Tenggara dan Maluku,” jelas Abdul Muhari.

Pada kejadian banjir di beberapa provinsi tersebut, kata dia, dipicu salah satunya curah hujan selama bulan Juli. Curah hujan sangat berpengaruh terhadap kejadian banjir, khususnya di wilayah Indonesia bagian tengah, seperti kawasan Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. 

Pada saat yang sama, sebaran pada karhutla di lima provinsi tertinggi teridentifikasi di wilayah Sumatera Selatan 11 kejadian, Aceh 10, Kalimantan Tengah 7, Kalimantan Selatan 6 dan Riau 4. 

Melihat dari sebaran, kondisi cuaca pada bulan Juli ini, Abdul Muhari mengatakan, juga berkontribusi pada terjadinya karhutla di wilayah Sumatera dan Kalimantan, yang memang kerap dilanda karhutla setiap tahun. 

“Di bulan Juli, beberapa provinsi mengalami kejadian bencana hidrometeorologi basah (banjir) bersamaan dengan kejadian bencana hidrometeorologi kering (karhutla). Meskipun pada kabupaten/kota yang berbeda, fenomena ini menunjukkan bahwa anomali cuaca dalam skala lokal terlihat sebagaimana terjadi di Aceh (banjir 9 kejadian dan karhutla 10 kejadian) dan Kalimantan Tengah (banjir 4 kejadian dan karhutla 7 kejadian),” jelas Abdul Muhari. 

Fenomena serupa, dimana banjir dan banjir bandang terjadi hampir bersamaan dengan kejadian kebakaran hutan yang dahsyat juga terjadi di tingkat global. 

Kejadian banjir dan banjir bandang yang terjadi di Jerman, Turki, India dan Cina disusul oleh kejadian kebakaran hutan yang masif di Turki, Italia, Yunani dan Amerika. Anomali cuaca di tingkat lokal, regional dan global ini  harus menjadi perhatian dalam aspek uncertainty (ketidakpastian) dalam penyusunan langkah-langkah mitigasi. 

“Intensitas curah hujan yang mulai melewati periode ulang seharusnya menjadi bencana di Jerman, Cina dan India. Hal ini tentu saja harus menjadi pembelajaran dan dasar untuk melakukan audit infrastruktur keairan di tanah air agar memiliki kapabilitas untuk mengakomodasi potensi curah hujan ekstrem yang mungkin terjadi di masa depan,” kata Abdul Muhari. * (jasmin)