Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemerintah Larang Ekspor CPO Demi Hilirisasi

Plt. Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika.suaratani.com-ist 

SuaraTani.com – Jakarta| Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus untuk meningkatkan program hilirisasi berbasis sumber daya alam, termasuk di sektor agro, agar dapat terus memacu nilai tambah ekonomi dari bahan baku lokal tersebut. Salah satu sektor yang dikembangkan adalah industri pengolahan minyak kelapa sawit.

Melalui kebijakan hilirisasi, pemerintah menargetkan Indonesia bisa menjadi pusat produsen produk turunan minyak sawit di dunia pada tahun 2045. Hal ini juga akan membuat Indonesia menjadi penentu harga CPO global. Pasalnya, Indonesia sudah menguasai pasar ekspor CPO di kancah global sebesar 55%.

Di samping itu, kenaikan harga komoditas CPO, diharapkan bisa menjadi peluang untuk pengembangan industri hilirnya. Hal ini akan berdampak positif pada multiplier effect yang luas bagi perekonomian nasional, khususnya penerimaan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam kurun 10 tahun, ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat signifikan, dari 20% di tahun 2010 menjadi 80% pada 2020. Hal ini sesuai target peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No 13 Tahun 2010.

Bahkan, saat ini terdapat 168 jenis produk hilir CPO yang telah mampu diproduksi oleh industri di dalam dalam negeri untuk keperluan pangan, fitofarmaka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/biodiesel FAME. Sementara pada tahun 2011, hanya ada 54 jenis produk hilir CPO.

Plt Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika menyebutkan, program yang telah dijalankan oleh Kemenperin terkait hilirisasi berbasis minyak sawit (CPO/CPKO), antara lain dengan mempertahankan kebijakan tarif pungutan ekspor secara progresif berdasarkan harga CPO internasional dan rantai nilai industri. 

“Sebab, tarif pungutan ekspor untuk bahan baku CPO/CPKO jauh lebih tinggi daripada produk intermediate dan produk hilir. Upaya ini sebagai insentif bagi industri pengolahan dalam negeri,” jelas Putu dalam siaran persnya, Rabu (20/10/2021), di Jakarta.

Menurut Putu, insentif tarif pungutan ekspor telah mendorong investasi di sektor industri hilir pengolahan minyak sawit di dalam negeri. Adapun tarif pungutan ekspor progresif terdiri dari Tarif Pungutan Dana Perkebunan/Levy dan Tarif Bea Keluar yang ditetapkan dinamis sesuai harga referensi bulanan.

“Dengan kebijakan tarif Levy ditambah tarif Bea Keluar yang progresif, beberapa perusahaan perkebunan yang sebelumnya hanya memiliki kebun, saat ini telah dan sedang membangun industri pengolahan minyak sawit di dalam negeri,” ungkapnya.

Langkah lainnya, Kemenperin juga menyiapkan kawasan industri sebagai lokus investasi baru/perluasan industri hilir kelapa sawit, mengusulkan pemberian harga khusus gas bumi untuk industri oleokimia, dan memasilitasi promosi investasi industri hilir sawit di berbagai event international seperti tahun ini di Hannover Messe, Jerman dan Dubai Expo.

Putu menambahkan, sampai saat ini, hanya produk ekspor biodiesel dari minyak sawit yang masih menghadapi hambatan trade remedies, khususnya dari Uni Eropa. Sejak tahun 2016, Kemenperin telah aktif dalam Working Group untuk menyiapkan data industri sebagai bahan Litigasi Sidang WTO.

Pada 2017, Kemenperin juga mengirimkan delegasi untuk mengikuti Sidang DSB terkait antidumping biodiesel dari minyak sawit di Kantor Pusat WTO, Jenewa. 

“Hal tersebut menunjukkan bahwa Kemenperin sangat berkepentingan untuk menyelesaikan isu trade remedies dalam rangka mengamankan kinerja industri dan ekspor produk biodiesel dari minyak sawit dalam negeri,” tutur Putu.

Sepanjang Januari-Juli 2021, total ekspor nasional mencapai US$120,58 miliar. Sementara itu, nilai ekspor kelapa sawit dan produk turunannya menembus US$19,4 miliar atau berkontribusi sebesar 16,09% terhadap total ekspor Indonesia tersebut.

Nilai ekspor kelapa sawit dan produk turunannya itu mengalami kenaikan 55,86% dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebesar US$12,44 miliar. Bahkan, selama lima tahun terakhir, nilai ekspor kelapa sawit dan produk turunannya mengalami tren perkembangan yang positif sebesar 1,98%.

Putu pun mengemukakan, telah banyak berkembang investasi baru atau perluasan usaha di sektor industri oleofood, oleokimia, dan biofuel. Peningkatan investasi ini didorong oleh kebijakan kemudahan investasi (Ease of Doing Business), kebijakan pengamanan bahan baku CPO/CPKO di dalam negeri, kebijakan harga gas industri, serta pemberian insentif perpajakan berupa tax allowance dan tax holiday.

Contoh investasi tersebut, yakni Unilever Oleochemical Indonesia (Unilever) yang berlokasi di Kawasan Industri Sei Mangkei Sumut. Sepanjang tahun 2012-2020, telah melakukan investasi sebesar Rp2,5 triliun untuk pengoperasian pabrik oleokimia yang menggunakan bahan baku CPKO dari PTPN III.

“Setelah diberikan kebijakan harga gas bumi tertentu, efisiensi produksinya meningkat, sehingga Unilever berencana untuk memperluas investasi di lokasi yang sama dengan nilai Rp2,5 triliun. Jadi, pada akhir tahun 2024, total investasi Unilever di Kawasan Industri Sei Mangkei akan mencapai lebih dari Rp5 triliun, yang menghasilkan produk personal wash untuk diekspor ke berbagai negara,” sebut Putu. *(jasmin)