Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Presiden Jokowi Diminta Evaluasi Wajib PCR bagi Penumpang Pesawat

Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay. suaratani.com - ist

Suara Tani.com – Labuhanbatu|  Permintaan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk menurunkan harga tes PCR menjadi Rp300 ribu mendapat apresiasi anggota komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay.

"Dalam konteks ini, Presiden Jokowi tidak mau membebani masyarakat di masa pandemi saat ini," ujar  anggota DPR RI dari Dapil Sumut II,  dalam keterangan tertulisnya, Selasa (26/10/2021).

Namun demikian, lanjutnya, permintaan menurunkan harga PCR itu dinilai tidak menyelesaikan masalah. Sebab, biaya test PCR tetap saja akan membebani. Apalagi, yang dibebani adalah para penumpang yang menggunakan transportasi udara. 

Faktanya, tidak semua orang yang naik pesawat memiliki dana berlebih, masih banyak orang yang merasa berat dengan beban membayar test PCR.

"Belakangan ini, tuntutannya kan menghapus persyaratan test PCR bagi penumpang pesawat. Kalau hanya diturunkan dan diperpanjang masa berlakunya, akar masalahnya belum tuntas. Orang-orang tetap masih harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar test PCR-nya," paparnya.

Sejalan dengan tuntutan itu, tambah Partaonan, Presiden diminta mengevaluasi kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat. Sebab, test PCR tersebut dinilai tidak menjamin bahwa semua penumpang tersebut aman dan tidak tertular. Bisa saja, setelah ditest,  di antara penumpang itu melakukan kontak erat dengan orang yang terpapar. Akibatnya, bisa terinfeksi dan menularkan di dalam pesawat. 

"Orang yang ditest itu aman pada saat ditest dan keluar hasilnya. Setelah itu, belum ada jaminan. Bisa saja ada penularan pada masa 3 x 24 jam," ulasnya.

Betul, kata dia, test PCR bisa meningkatkan kehati-hatian. Tetapi, apakah itu bisa diandalkan secara total? Rasanya tidak. Apalagi, test yang sama tidak diberlakukan bagi penumpang angkutan lainnya.

Sebagai alternatif, pemerintah diminta untuk memilih salah satu dari kebijakan berikut. Pertama, menghapus kewajiban test PCR bagi penumpang pesawat. Aturan ini diyakini akan sangat bermanfaat untuk menaikkan jumlah penumpang pesawat yang belakangan sempat terpuruk. 

Kedua, kalaupun test PCR tetap diberlakukan maka biayanya diharapkan dapat ditanggulangi pemerintah. Dengan begitu, kebijakan tersebut tidak memberatkan siapa pun. Tentu ini tidak mudah. Karena itu perlu perhitungan yang cermat sehingga tidak membebani anggaran pemerintah.

Ketiga, memperpanjang masa berlaku hasil test PCR. Kalau perlu, masa berlakunya adalah 7x24 jam. Meskipun ini tetap membebani para penumpang, tetapi tidak terlalu berat sebab hasil test tersebut dapat dipergunakan untuk beberapa kali penerbangan. 

"Dulu masa berlakunya bisa lebih dari seminggu. Kenapa sekarang semakin diperketat? Kalau kasusnya mereda, semestinya masa berlaku hasil PCR pun diperpanjang. Nanti kalau ada kenaikan lagi, bisa dipikirkan untuk memperketat lagi," katanya.

Keempat, kebijakan test PCR diganti dengan test antigen. Meski tingkat akurasinya lebih rendah dari PCR, namun biaya testingnya jauh lebih rendah. Para penumpang diyakini masih bisa menjangkaunya. 

"Tujuan testing kan untuk memastikan bahwa semua calon penumpang tidak terpapar. Nah, antigen ini juga bisa digunakan. Hanya saja, tingkat akurasinya sedikit lebih rendah. Banyak juga orang yang test antigen yang dinyatakan positif, lalu dikarantina dan diisolasi. Artinya, testing antigen tetap efektif untuk dipergunakan," tegasnya. * (fajar/ril)