SuaraTani.com – Medan| Kecenderungan harga pangan rata-rata bergerak di atas rata-rata tahun 2021 masih sangat terbuka terjadi di tahun 2022 ini. Pemicunya adalah kenaikan harga energi dunia yang mahal belakangan ini yang terutama bersumber dari kenaikan harga minyak bumi, batu bara dan gas. Hal inilah yang memicu terjadinya kenaikan pada biaya produksi tanaman di tingkat petani.
Pemerhati ekonomi Sumatera Utara (Sumut) Gunawan Benjami mencontohkan harga gas alam dunia dijual mendekati $5 per MMBTU saat ini, sementara di awal tahun 2021 harga gas alam sempat berada di kisaran level $3 per MMBTU, tertinggi sempat menyentuh $5.5. Dampaknya yang paling dirasakan saat ini adalah kenaikan pada biaya produksi pupuk yang bahan bakarnya dari gas. Alhasil pupuk nonsubsidi mahal, dan tentunya ada anggaran ekstra untuk menambal pupuk subsidi saat ini.
“Dampak dari kenaikan harga pupuk tersebut akan menyeret komoditas pertanian kita mengalami kenaikan. Mulai dari tanaman hortikultura maupun palawija seperti beras, jagung, kedelai, gandum, cabai, bawang dan sejumlah komoditas pangan lainnya, hingga kenaikan pada komoditas tanaman perkebunan seperti sawit. naiknya harga beras, jagung, kedelai maupun gandum akan memberikan dampak kenaikan pada harga produk turunannya seperti tepung, pakan ternak, tahu hingga tempe dan banyak bahan baku pangan lainnya,” ujar Gunawan Benjamin di Medan, Senin (24/1/2022).
Dari kenaikan harga tepung, pakan ternak, tahu dan tempe ini kata Gunawan bisa menyeret kenaikan pada produk olahan (turunan) lainnya seperti roti, kue, daging dan telur ayam, daging sapi, susu, mie, gorengan dan sejumlah pangan lainnya. Itu baru rentetan dari kenaikan harga gas. Belum lagi kenaikan pada harga batu bara, minyak bumi yang juga bisa membuat harga lainnya naik.
Seperti kenaikan harga tarif dasar listrik hingga kenaikan pada harga BBM. Yang pada akhirnya akan menaikkan biaya transportasi hingga produksi. Dan pastinya akan berkontribusi lagi terhadap kenaikan sejumlah harga kebutuhan pangan masyarakat. Pertanyaannya, Lantas sampai kapan harga energy akan bertahan mahal seperti ini?.
“Jawabannya masih tidak pasti sampai kapan. Pemicu kenaikan harga energi itu sendiri tidak terlepas dari konsumsi atau kebutuhan masyarakat yang naik. Kebiajkan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan yang memicu terjadinya penggunaan energy tertentu turut dapat memicu kenaikan pada komoditas pangan,” kata Gunawan.
Selanjutnya ada ancaman perubahan iklim, perang, pemulihan ekonomi yang berdampak pada permintaan kebutuhan pangan, penyebaran Covid-19, hingga kebijakan penyesuaian bunga acuan yang didorong oleh kenaikan bunga US Dolar oleh Bank Sentral AS. Tahun ini menjadi tahun yang berat dalam hal pengendalian kenaikan harga barang atau inflasi. Saya yakin pemerintah memahami potensi ancaman kenaikan harga pangan tersebut.
“Ancamannya dari luar, namun dampaknya akan sangat kita rasakan. Jadi memang skala prioritas kebijakan pemerintah kedepan sebaiknya fokus pada pengendalian harga pangan. Sebaiknya kebijakan pembangunan lainnya yang tidak mendesak, dan menghabiskan anggaran besar ditunda terlebih dahulu,” tutupnya. *(ika)

