SuaraTani.com - Jakarta| Anggota Komisi II DPR RI, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, menegaskan pentingnya keberanian pemerintah dalam menindaklanjuti persoalan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia.
Hal itu disampaikan saat Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Senin (8/9/2025).
Deddy menyoroti pernyataan Menteri ATR/BPN sebelumnya yang menyebut bahwa sekitar 60 keluarga besar menguasai sebagian besar tanah di Indonesia.
Menurutnya, informasi tersebut harus ditindaklanjuti dengan kebijakan nyata, bukan sekadar pernyataan publik.
“Kalau berhenti hanya jadi statement, itu justru akan menimbulkan kebencian di masyarakat bawah yang mengalami ketidakadilan agraria. Pemerintah harus menunjukkan langkah konkret, baik melalui reforma agraria yang konsisten maupun kebijakan pajak yang adil,” tegas Deddy.
Ia juga menilai, kelompok korporasi besar yang menguasai lahan melalui Hak Guna Usaha (HGU), Hutan Tanaman Industri (HTI), maupun tambang, sudah saatnya dibebani pajak lebih besar.
“Mereka sudah sangat kaya, bahkan cukup untuk 70 keturunan. Negara harus berani menaikkan pajak kepada kelompok ini untuk redistribusi yang lebih adil,” tambahnya.
Selain isu ketimpangan lahan, Deddy juga menyoroti persoalan konflik agraria yang hingga kini masih membebani masyarakat.
Di antaranya kasus di Tesso Nilo, Riau, di mana terdapat lebih dari 11 ribu kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya di kawasan tersebut.
Deddy meminta kejelasan dari pemerintah terkait langkah penyelesaian, agar masyarakat tidak semakin terpinggirkan.
“Kalau mereka tiba-tiba dipasang plang tanah dikuasai Satgas PKH dan diancam pidana, lalu mereka mau makan apa? Negara harus hadir dengan roadmap yang jelas, bukan sekadar menggusur masyarakat,” ujarnya.
Deddy juga menyinggung data Kementerian ATR/BPN bahwa terdapat lebih dari 25 ribu desa yang masuk dalam kawasan hutan.
Menurutnya, penetapan kawasan hutan selama ini dilakukan tanpa melibatkan pemerintah daerah maupun BPN, sehingga memicu konflik panjang antara masyarakat dengan negara maupun perusahaan tambang dan perkebunan.
Ia mendorong agar penetapan kawasan ke depan tidak hanya melibatkan Kementerian Kehutanan, tetapi juga Kementerian ATR/BPN, Kementerian ESDM, dan Kementerian Dalam Negeri, mengingat konflik yang kerap melibatkan masyarakat desa, perusahaan tambang, dan korporasi besar.
Deddy menilai masih terdapat ketimpangan mencolok dalam pendaftaran tanah.
“Ironis, kalau tanah untuk rakyat hanya sekitar 878 hektare yang terdaftar, sementara jutaan hektare untuk korporasi bisa segera diterbitkan haknya. Tanah tidak pernah bertambah, sementara penduduk terus bertambah. Ini bom waktu jika tidak segera diselesaikan,” tegasnya.
Selain itu, ia meminta pemerintah konsisten terhadap aturan larangan penambangan di pulau-pulau kecil, seperti kasus Raja Ampat yang sempat menjadi perhatian publik. Eksploitasi sumber daya di pulau kecil justru mengancam keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir.
Dengan berbagai catatan tersebut, Deddy mendesak agar Kementerian ATR/BPN mempercepat program reforma agraria, memperkuat koordinasi lintas kementerian dalam penyelesaian konflik agraria, serta memastikan keadilan distribusi tanah di Indonesia. * (jasmin)