Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rizal Bawazier Nilai Tata Niaga Gula Rugikan Petani Tebu

Kebocoran distribusi gula rafinasi ke pasar konsumsi rumah tangga telah merusak keseimbangan industri. foto: ist

SuaraTani.com - Surabaya| Anggota Komisi VI DPR RI, Rizal Bawazier, menyoroti carut-marut tata niaga gula nasional yang dinilai merugikan petani tebu

Menurutnya, kebocoran distribusi gula rafinasi ke pasar konsumsi rumah tangga telah merusak keseimbangan industri, menekan harga gula lokal, serta membuat petani kehilangan keuntungan yang layak.

“Kalau menurut saya, itu karena tata niaga dari petani sampai ke pabrikan terlalu banyak. Apa alurnya? Sehingga ada kenaikan harga. Pas waktu mau dijual, harganya sudah tinggi dan tidak sanggup bersaing di pasar lokal. Mau tidak mau akhirnya cari impor. Nah, ini yang membuat kita terpaksa impor,” ujar Rizal saat kunjungan kerja ke Kantor Sinergi Gula Nusantara, Kota Surabaya,Provinsi Jawa Timur, Jumat (3/10/2025).

Ia menegaskan, Komisi VI DPR RI berkomitmen mendorong solusi konkret agar persoalan tersebut tidak terus berulang. 

Salah satunya dengan memperkuat sinergi BUMN sektor perkebunan, seperti PTPN III dan PT Rajawali, serta koordinasi dengan pemerintah daerah dan kementerian terkait.

Rizal juga meminta agar pemerintah memberi tenggat waktu yang jelas dalam perbaikan tata niaga gula. 

“Kami dari Komisi VI akan mendukung. Kirimkan saja usulan ke kami, nanti akan kami teruskan kepada instansi terkait. Kasih waktu deadline 6 bulan harus ada hasilnya,” tegasnya.

Ia mencontohkan, Jawa Timur sebagai sentra perkebunan tebu yang menyumbang lebih dari 50% produksi nasional seharusnya bisa menjadi basis swasembada gula. 

Namun faktanya, kondisi saat ini justru berbanding terbalik. 

“Zaman Belanda, dengan areal yang setengahnya saja bisa swasembada 2,6 juta ton. Sekarang lahan lebih luas, tapi justru tidak mampu. Ini jelas ada masalah. Jangan sampai petani terus jadi korban,” ujarnya.

Menurutnya, DPR akan terus mengawal komitmen pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor gula. 

“Kalau memang ada kesempatan, kita kasih kesempatan untuk menyelesaikan persoalan. Tadi disebutkan, tahun depan insya Allah tidak ada impor gula. Kita lihat nanti, semoga benar-benar terwujud. Karena gula ini sangat penting. Jangan sampai ada lagi teriakan dari petani tebu,” pungkasnya.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional, pada tahun 2025 kuota impor gula rafinasi ditetapkan sebesar 3,4 juta ton, sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. 

Namun hingga kuartal III 2025, izin impor yang telah masuk justru mencapai 4,1 juta ton, dengan 200 ribu ton sisanya ditahan sementara.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengimpor 308.780 ton gula pada Januari 2025 dengan nilai USD 162,8 juta (Rp2,6 triliun). 

Mayoritas berupa gula mentah dan gula kristal rafinasi (GKR) yang seharusnya hanya diproses untuk kebutuhan industri, namun di lapangan sebagian bocor ke pasar rumah tangga dan bersaing langsung dengan gula lokal.

Dari sisi produksi, nasional masih jauh dari kebutuhan. Pada 2024, produksi dalam negeri hanya mencapai 2,46 juta ton, sementara kebutuhan nasional sekitar 6,5 juta ton. 

Artinya, Indonesia defisit rata-rata 4 juta ton per tahun. Bank Indonesia mencatat, dalam satu dekade terakhir defisit produksi gula mencapai 63 persen. 

Tahun 2025, pemerintah menetapkan kuota impor GKR sebesar 3,44 juta ton, dengan realisasi hingga September mencapai 2 juta ton. * (erna)