Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dituding Perusak Lingkungan, TPL Justeru Penerima Sertifikasi Tertinggi Legalitas Keabsahan Kayu

Lokasi operasional PT Toba Pul Lestari di Desa Sosor Ladang, Pangombusan, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba. suaratani.com - ist 

SuaraTani.com – Medan| PT Toba Pulp Lestarti Tbk atau akrab disebut TPL merupakan industri penghasil bubur kertas (pulp) yang cukup seksi. Seksi bukan hanya karena investasinya yang luar biasa ‘gede’ tapi juga karena TPL menjadi trending topic bagi segelintir orang yang berlindung dalam sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Semua isu yang digoreng mengenai keburukan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA)  yang berdiri tahun 1984 di kawasan Tapanuli Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

Bayangkan saja,  industri  bubur kertas (pulp) yang  wilayah operasional pabriknya berada di Desa Sosor Ladang, Pangombusan, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba ini, tadinya bernama PT Inti Indorayan Utama (IIU).

Perusahaan ini dituding sebagai perusahaan pencemar lingkungan di kawasan Toba. Sampai akhirnya pasca reformasi berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) dan beroperasi kembali pada tahun 2003.  

Meski sudah berganti nama, namun perusahaan yang merekrut ribuan tenaga kerja itu tidak bisa tenang. Serangan dari berbagai LSM kian bertubi-tubi. Bahkan isu yang dimunculkan  semakin beragam terhadap perseroan pemegang sertifikat Perusahaan Objek Vital Nasional ini. 

Mulai isu sosial, kriminalisasi, kerusakan lingkungan dan pelanggaran adat istiadat masyarakat setempat, yang dikemas dengan memakai hukum hak ulayat (Tanah Adat).

Salah paham yang berakhir dengan perselisihan antara perusahaan dan masyarakat Desa Natumingka, Kecamatan Bobor Kabupaten Toba yang belum lama terjadi, adalah satu dari sejumlah peristiwa yang terjadi sebagai akibat dari penyebaran isu dan provokasi LSM kepada masyarakat awam. Benarkah semua yang ditudingkan LSM itu kepada TPL? 

Kantongi Izin dari Pemerintah

Menjawab hal itu, Direktur TPL Jandres Halomoan Silalahi pun angkat bicara. Menurutnya, dalam kegiatan usaha industri pulp, TPL mengantongi izin dari pemerintah melalui Kementerian Kehutanan RI, dengan Surat Keputusan nomor 493/Kpts-II/92 tanggal 1 Juni 1992 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). 

Bahkan telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan terakhir dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.682/Menlhk/Setjen/HPL.0/9/2019 tanggal 11 September 2019, Tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 493/KPTS-II/1992 tanggal 1 Juni 1992, Tentang Pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT Inti Indorayon Utama. 

Jandres mengutarakan, luasan lahan Hutan Tanaman Industrial (HTI) yang diberikan pemerintah kepada TPL 184.486 hektare yang tersebar di beberapa kabupaten/kota, diantaranya areal konsesi Kabupaten Simalungun, Kabupaten Asahan, Kabupaten Toba, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Dairi, Kabupaten Samosir, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kota Padang Sidempuan, dengan Eucalyptus sebagai tanaman pokok untuk produksi pulp.

Kawasan hutan eucalyptus yang dikelola PT TPL. suaratani.com - ist

Raih Beragam Award

Dalam perjalannnya, mengelola industri pulp, TPL mendapat pengakuan berupa penghargaan atau award yang diberikan Pemerintah Indonesia. Adapun award (penghargaan) yang diterima TPL baru-baru ini adalah meraih Anugerah Penghargaan Proper Nasional Kategori Biru, periode penilaian tahun 2019-2020 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Proper Nasional adalah Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan, yang dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sejak tahun 1995. Program ini juga memotivasi perusahaan untuk selalu menjaga komitmen dalam penanganan lingkungan hidup.

“Kami sangat bersyukur perusahaan masih diberi kepercayaan menerima penghargaan Proper kategori Biru dari pemerintah, sebagai buah usaha kegiatan dan upaya perusahaan dalam pengeloaan lingkungan, dan pelaksanaannya juga sesuai dengan dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Jandres Silalahi, Kamis (17/6/2021).

Tidak hanya itu, lanjut Jandres, TPL juga menerima penghargaan untuk ke lima kalinya dari Kementerian Tenaga kerja (Kemenaker) RI melalui pencapaian kinerja SMK3 (Sistem Management Keselamatan dan Kesehatan Kerja) setelah sebelumnya juga menerima penghargaan serupa pada tahun 2006, 2008, 2012, 2014, 2017.

Bahkan perusahaan yang saat ini lagi gencar diisukan LSM tanpa bukti sebagai perusak lingkungan, juga menerima sertifikasi tertinggi dalam hal legalitas (keabsahan kayu).

Penghargaan yang diterima oleh TPL ini merupakan program tahunan dengan tujuan memacu perusahaan untuk menggunakan kayu yang legal dalam proses  produksinya.

Penghargaan tersebut dilaksanakan oleh badan independen PT SGS (Societe Générale de Surveillance) yang merupakan lembaga sertifikasi yang memastikan bahan baku yang digunakan perusahaan dalam menghasilkan bubur serta kayu berasal dari sumber kayu yang berkelanjutan.

“Sejumlah prestasi dan penghargaan telah diterima perusahaan dengan kerja keras para pekerja dan manejemen. Kami juga mendapat penghargaan melalui program Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) yang menjalani sertifikasi legalitas kayu, melalui kegiatan verifikasi legalitas kayu berdasarkan prinsip, kriteria dan indicator,” jelas Jandres.

Seluruhnya ditetapkan sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor P.14/PHPL/SET/4/2016, tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) pada lampiran yang relevanjuncto Peraturan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor: P.15/PHPL/PPHH/HPL.3/8/2016.

Korban Isu Tanah Adat

Sayang, berbagai pencapaian dan penghargaan dari negara maupun berbagai lembaga swasta tingkat nasional maupun Internasional, seakan tidak ada artinya hanya karena penyebaran isu negatif tanpa bukti dan fakta yang diduga kuat sarat dengan kepentingan kelompok tertentu. 

Sejumlah media yang tidak terprovokasi dengan isu yang disebarkan oleh sejumlah LSM, merasa tetarik untuk melakukan investigasi apa gerangan yang terjadi pada perusahaan ini. Tidak adanya bukti dan fakta mengenai kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, kriminalisasi masyarakat mengatasnamakan adat istiadat, kurang respon sosialnya perusahaan kepada masyarakat. 

Faktanya adalah pengucuran dana Coorporate Social Responsibility (CSR) setiap tahunnya terlaksana, dan dilaporkan kesejumlah instansi pemerintah daerah dan pusat, serta lembaga pengawasan swasta nasional hingga tim independen selaku pengawas yang dibentuk oleh Gubernur Sumut. Ini membuktikan TPL Perusahaan Objek Vital Nasional Korban Isu Sosial dengan Kemasan Tanah Adat.

Tuntutan masyarakat dari isu perampasan tanah adat saat ini menjadi fokus utama para LSM yang dinilai punya kepentingan. Padahal perusahaan bubur kertas ini tidak pernah menguasai lahan tanah adat masyarakat, dan hanya mengantongi izin dari pemerintah selaku pemilik lahan.

Mengutip dari penyataan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) wilayah IV Balige, Leonardo Sitorus beberapa waktu lalu, bahwa secara hukum wilayah Natumingka masih berada di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL). 

Sehingga perusahaan pengelola pemanfaatan hasil hutan, dibebankan untuk melakukan pengawasan dan pengamanan lahan, bila tidak dilakukan maka akan dievaluasi.

“Terkait Natumingka mulai dari  lahan register sudah merupakan kawasan hutan,  dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SKMenhut) tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1984, kawasan ini menjadi kawasan Hutan Produksi. Kemudian hal tersebut juga diatur dalam SK Menhut nomor 44 tahun 2005 yang menyebutkan kasawasan tersebut menjadi kawasan hutan lindung,” ungkap Leonardo.

Dia juga menjelaskan, SK Menhut nomor  44 tahun 2005 kembali direvisi, dan diganti dengan SK Menhut Nomor 579 tahun 2014  yang menyebutkan, kawasan tersebut kembali menjadi kawasan Hutan Produksi (HP) tetap, dan dilakukan tapal batas sehingga dikembalikan fungsi awalnya.

“Kementrian  kembali mengeluarkan SK Menhut nomor 1076 tahun 2017 tentang Perkembangan Pengukuhan kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara,” jelas Leonardo lagi.

Dalam surat keputusan tersebut dikatakan, wilayah Natumingka adalah kawasan Hutan Produksi, sehingga tetap masih dikelola oleh perusahaan (TPL).

“Pemerintah juga mengeluarkan SK Menhut nomor 8088/Menlhk-PKTI/KUH/PLA.2/11/2019 tentang perkembangan tapal batas kawasan hutan di provinsi Sumatera Utara, isinya kawasan Natumingka tetap dalam lahan konsesi TPL dan dibebankan untuk menjaga kemanan dan pengawasan,” tegasnya.

Menurut Leonardo, pihaknya juga telah melakukan investigasi dan inventarisir, terhadap kawasan Natumingka yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyarakat. Termasuk keberadaan situs makam, bekas persawahan dan bekas perladangan. Hasilnya memang kawasan terebut adalah wilayah konsesi (HTI) perusahaan.

Hasil investigasi dan inventarisir dari KPH IV Balige, kata Leonardo, telah disampaikan melalui surat kepada masyarakat Natumingka, dan ditembuskan ke sejumlah instansi terkait termasuk pihak kepolisian Poles Toba. Namun untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, KPH IV Balige memberikan rekomendasi diantara kedua belah pihak.

“Masyarakat harus mengurus klaim hutan adat secara legal formal, ketika telah ditetapkan oleh menteri bahwa kawasan tersebut adalah hutan adat, maka masyarakat dapat mengelola kawasan yang dimaksud sebagai hutan adat,”jelasnya. 

Atau, lanjut Leonardo, bila masyarakat mengklaim bahwa lahan tersebut adalah milik keturunan opung (Nenek Moyang) mereka, maka dapat dilakukan pelepasan kawasan hutan melalui Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) sesuai persyaratan dan undang-udang yang berlaku.

“Selagi belum penetapan dari yang berwenang tentunya status hukum kawasan hutan tersebut adalah hutan produksi tetap yang dibebankan kepada TPL sesuai dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTI TPL,” terangnya lagi.

Kawasan hutan eucalyptus. suaratani.com - ist

Dukungan Serikat Pekerja/Buruh

Keributan yang sengaja diciptakan sejumlah LSM terhadap  perusahaan yang memiliki 7.000 pekerja yang berasal dari masyarakat lokal setempat ini,  mendapat dukungan dari sejumlah Serikat Pekerja/Buruh dan ribuan pekerjanya. Bahkan,  puluhan ribu orang dari keluarga pekerja terus berdatangan. 

Sejumlah pekerja perwakilan dari 6 organisasi Serikat Pekerja/Buruh Rabu (16/6/2021), mendatangi kantor Bupati Kabupaten Toba untuk berdialog dan menyampaikan rasa keberatan mereka, terhadap penyebaran isu negatif dan pencemaran nama baik perusahaan PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL).

"Kami tidak berpihak kepada siapapun. Siapa yang bersalah supaya diberi hukuman setimpal karena atas kejadian tersebut sudah menjadi ancaman baru pada keamanan dan kehidupan buruh," ujar Kordinator Aliansi Serikat Pekerja/Buruh di Toba, Berlin Marpaung, di Aula Kantor Bupati Toba di Balige.

Ketua Buruh SBSI 92, Periana Hutagaol secara tegas meminta keberadaan pemerintah sangat penting karena atas kejadian di Desa Natumingka cukup menjadi ancaman bagi kalangan buruh.

"Kami menilai keributan secara sengaja dimunculkan oleh sekelompok orang tertentu tanpa memikirkan kepentingan banyak orang khususnya buruh. Dalam hal ini pemerintah supaya turun mencaritahu dan membuat keputusan sifatnya objektif tanpa tekanan maupun desakan," ucapnya.

Pangeran Marpaung, sebagai buruh di PT TPL menyampaikan, PT TPL telah banyak berbuat demi kemajuan masyarakat dan pencegahan covid-19 ditambah pemberdayaan warga sekitar.

"Bukankah selama ini PT TPL selalu berbuat baik? Apa hanya karena hasrat oleh oknum yang tidak terpenuhi sehingga nasib banyak orang terlantar dan menyerukan supaya PT TPL ditutup? Bahkan penanganan dan pencegahan covid-19 perusahaan telah maksimal berbuat bagi masyarakat," ucapnya.

Pemerintah selaku pengawas dan pelaksana regulasi kebijakan, sebaiknya segera mengambil langkah dalam mengetengahi perselisihan ini. Tidak hanya pengawasan terhadap perusahaan, pemerintah juga perlu melakukan pengawasan terhadap kinerja LSM penyebar isu tanpa fakta, hingga membenturkan permasalahan kepada masyarakat. * (junita sianturi)