SuaraTani.com – Depok| Perempuan Lintas Komunitas yang memiliki kecintaan terhadap wastra nusantara merayakan hari Ibu dengan #memeluktenun, sebagai upaya ajakan agar perempuan Indonesia mengenal dan mencintai kain-kain tradisional yang umumnya dihasilkan oleh perempuan.
“Kain-kain tenun itu dihasilkan oleh pengetahuan dengan riwayat yang panjang, lintas generasi, lintas zaman, ada keringat dan do’a dari para perempuan. Dan tradisi lahir dari rahim perempuan, Ibu. Maka dalam kesempatan hari Ibu ini kami menyapa semua perempuan Indonesia untuk melihat, merasakan, dan mencintai kain-kain nusantara,” papar Nury Sybli, penggagas acara #Sapawastra untuk Hari Ibu, dalam keterangan tertulis, Kamis (23/12/2021).
Pasalnya, Nury menjelaskan, masyarakat modern atau generasi muda saat ini lebih menyukai pakaian yang praktis atau cenderung karena sedang tren.
“Pilihan ini sah-sah saja. Tetapi helai-helai kearifan itu tidak akan dijumpai pada pakaian produk pabrikan. Berbeda dengan tenun misalnya, yang setiap lembarnya menghadirkan motif yang memberikan tuntunan, pesan, identitas, kehormatan, dan cinta,”paparnya.
Hal senada dikatakan Dewi Trisna, salah seorang pencinta wastra nusantara. Menurutnya, ibu atau perempuan dan wastra adalah satu hal yang sangat menyatu. Dari sosok ibu, kita dikenalkan dengan selembar wastra.
“Wastra itu dibuat karena cinta. Cinta kepada keluarga, cinta pada adat, leluhur, diri sendiri bahkan pada sang pencipta,“ tegas Dewi yang mengoleksi rupa-rupa kain nusantara.
Karena alasan cinta, puluhan perempuan lintas komunitas pencinta wastra tampil dalam balutan tenun Flores yang dipertemukan dengan tenun suku Baduy.
Pemilihan tenun Flores dan Baduy menurut Nury karena jika diteliti lebih dalam pada setiap tenun di daerah memiliki paralel budaya, motif-motif yang menyerupai bahkan sama. Baduy memiliki kain aros yang bermotif lurus, Flores juga memiliki sarung garis-garis yang disebut lipa’ todo. Demikian juga pada songke manggarai yang memilih bunga jalanan sebagai motif sarung, orang Baduy juga menggunakan bunga-bunga rumput sebagai motif sulaman tenun mereka. Inilah keistimewaan kain warisan leluhur, sarat nilai.
“Seperti pada penutup kepala perempuan. Ada satu cara pakai penutup kepala perempuan yang cara pakainya sama persis dan dipakai di banyak daerah. Orang Batak menyebutnya Saong, orang Karo menyebutnya Tudung, orang Jambi dengan Tengkuluk, orang Toraja menyebutnya Pa’lullung. Inilah yang kita sebut Indonesia, dengan aneka ragamnya. Ibarat benang, Indonesia itu warna-warni tetapi karena ditenun dengan cinta dan do’a maka hasilnya selembar kain yang indah. Bangsa kita harusnya demikian, warna-warni itu menjadi kekuatan yang indah,” tutur Nury, yang menjadi salah satu periset buku Tenunku: Warna-warna Benang Warisan Nusantara.
Kegiatan Sapawastra ini diselenggarakan sebagai bentuk penghormatan pada perempuan-perempuan yang telah menghidupkan benang menjadi tenun, ikat, pahikung, songket, batik, wastra nusantara.
“Sapa artinya menyapa. Kita ingin menyapa seluruh perempuan, para penjaga peradaban, sekaligus menyapa wastra, kain-kain nusantara agar terus hidup tak lekang dimakan zaman. Kami membungkuk pada para penenun, perempuan penyambung dan penerus pesan,” imbuhnya.
Sebagai ungkapan kebahagiaan, perempuan lintas komunitas menari Ja’i (tarian dari Ngada) bersama seluruh pengunjung di pelataran Secret Garden Art Space yang juga sedang digelar pameran solo perupa Damianus Sunu Wibowo yang bertajuk #SepenggalDusta.
Diketahui, tari Ja’i adalah tarian tradisional Kabupaten Ngada, NTT yang baru mendapatkan pengukuhan warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Pada acara Sapawastra ini kain-kain Flores dari Sikka, Ende, Nagekeo, Bajawa, Manggarai dan tenun Baduy koleksi pribadi Nury Sybli turut dipamerkan. Dan seluruh pengunjung yang hadir diajak memakai kain tenun.
“Saya ingin semua yang berada di area acara Hari Ibu ini masuk ke dalam lukisan. Kita semua ini lukisan,” ujar MasBowo, sapaan Damianus Sunu Wibowo.
Menutup keterangannya, Nury mengajak masyarakat untuk lebih sering menjadikan kain sebagai bagian dalam berpakaian.
“Mari berkain dengan gembira,” pungkasnya. *(ika)