Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ancaman Resesi Ekonomi Global Kian Nyata, IHSG dan Rupiah Terkoreksi

Analis Keuangan Sumatera Utara (Sumut), Gunawan Benjamin.suaratani.com-ist 

SuaraTani.com – Medan| Kekhawatiran akan rilis data inflasi di Amrerika Serikat menjadi momok yang menakutkan bagi pasar keuangan global memicu terjadinya tekanan pada bursa global termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah. 

Pada perdagangan hari ini IHSG ditutup melemah 1.34% di level 7.086,65, sedangkan rupiah melemah tajam di level 14.565 per US Dolar. Pelemahan IHSG dan rupiah terjadi saat mencuatnya ancaman resesi.

Analis Keuangan Sumatera Utara (Sumut), Gunawan Benjamin, mengatakan, ancaman resesi di banyak negara besar saat ini juga turut memicu ekspektasi bahwa resesi akan merembet ke banyak negara lain tanpa terkecuali Indonesia.

 Belakangan yang menjadi indikasi kuat bahwa resesi akan terjadi adalah kenaikan harga enerji maupun bahan pangan, yang membuat banyak Bank Sentral di dunia menaikkan bunga acuannya.

Dan yang lebih parahnya adalah bahwa inflasi yang naik belakangan ini bukan dikarenakan oleh sisi permintaan yang mencerminkan adanya pemulihan ekonomi. 

“Tetapi justru dipicu oleh kenaikan harga enerji maupun harga pangan yang dimotori oleh masalah gangguan supply akibat perang, serta kebijakan embargo ekonomi,” ujar Gunawan Benjamin di Medan, Jumat (10/6/2022).

Dikatakannya, kalau inflasi yang meroket tersebut lebih dikarenakan oleh faktor pemulihan ekonomi, yang mendorong demand, maka tercipta pertumbuhan ekonomi yang bisa dinikmati bersama, tetapi masalah inflasi saat ini bukanlah seperti itu. 

Pertumbuhan ekonomi baru memulai pemulihan setelah pandemi. Angkanya baru bergerak naik dengan akselerasi yang moderat, namun justru dihantam dengan lonjakan harga kebutuhan hidup (inflasi) yang baru terjadi bahkan dalam 40 tahun terakhir.

Alhasil, bunga acuan terpaksa harus dinaikkan, dan resesipun muncul di depan mata. Gambaran resesi tersebut makin hari semakin terlihat. Inflasi seakan tidak bisa diredam, yang bisa memicu gangguan stabilitas ekonomi di banyak negara. 

“Bagi Indonesia, memang konsumsi rumah tangga itu mendominasi pertumbuhan ekonomi (sekitar 50%),” sebutnya.

Akan tetapi jika terus di backup dengan bantuan sosial, sementara inflasinya tidak bisa dikendalikan, maka tetap saja akan menimbulkan masalah dimana daya beli masyarakat berpeluang tertekan. 

“Kita bisa saja menilai bahwa resesi yang terjadi pada ekonomi global mungkin tidak akan berdampak begitu signifikan terhadap perekonomian di tanah air. Tetapi kita tidak akan pernah bisa menghindari resesi itu sendiri. Rresesi akan datang dan menghampiri kita, tinggal tergantung seberapa kuat kita berhadapan dengannya. Skenario resesi seperti masa pandemi kemarin bisa kembali terulang,” tambahnya.

Tetapi kalau berandai-andai bahwa pertumbuhan ekonomi kita (growth) bisa dipertahankan di jalur hijau saat resesi dunia melanda. Maka inflasi masih akan menjadi musuh bersama. Ilustrasinya begini, penghasilan masyarakat mampu dipertahankan atau mungkin bisa dinaikkan meskipun sedikit (growth), tetapi disisi lainnya justru terjadi penambahan pengeluaran yang melebihi penghasilan (inflasi).

“Artinya skenario paling optimis kalau kita mampu berhadapan dengan resesi sekalipun. Bukan berarti kita bisa menghindar dari penurunan daya beli masyarakat, penambahan pengangguran atau mungkin kemiskinan parah yang disebabkan oleh inflasi,” pungkasnya. *(ika)