SuaraTani.com – Medan| Keputusan Belarusia bergabung dengan pasukan Rusia untuk melakukan operasi militer di Ukraina kian menyulut ketidakpastian ekonomi yang bakal terjadi. Dampak perang terhadap gangguan ekonomi yang terjadi di masa yang akan datang sudah tidak bisa lagi diabaikan. Kalau sejauh ini, banyak rilis ekspektasi ekonomi yang didasarkan pada kinerja ekonomi sepenuhnya.
Maka ketidakpastian ekonomi saat ini menurut analis keuangan Sumatera Utara (Sumut), Gunawan Benjamin, justru kian mendekati kepada sebuah kepastian yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Dimana perang yang berkecamuk akan kembali melambungkan sejumlah harga kebutuhan dasar masyarakat seperti enerji dan pangan. Sebaiknya pemerintah memiliki skenario yang jelas terkait dengan exit strategy dari ketidakpastian yang terjadi belakangan ini.
“Sudah saatnya kita mempertimbangkan bahwa bukan hanya saja perang Rusia dan Ukraina sebagai pemicu ketidakpastian kedepan, tapi skenario lain seperti potensi perang yang melebar antara NATO dengan Rusia dan sekutunya, juga perlu dimasukkan sebagai indikator dalam memperkirakan kinerja ekonomi kedepan,” kata Gunawan Benjamin di Medan, Selasa (11/10/2022).
Gunawan menyebutkan, inflasi, pertumbuhan ekonomi, harga enerji, harga pangan, hingga kerangka kebijakan moneter dan fiskal perlu disesuaikan dengan mengacu kepada skenario terburuk yang terjadi, yakni potensi chaos yang terjadi di belahan negara lainnya.
“Ini perlu agar kita lebih siap dalam menghadapi situasi terburuk dan sifatnya tak terduga. Sampai benar-benar ada perkembangan positif dari perang yang berkecamuk, sehingga nantinya baru kita berekspektasi dengan angka-angka yang lebih bersahabat. Contoh yang nyata, saat ini penting buat kita untuk memperkirakan atau menambah anggaran Bansos dengan tambahan jumlah penerima manfaat yang naik akibat adanya gelombang PHK,” terangnya.
Di lapangan saat ini kata Gunawan, sudah terlihat perusahaan yang mulai tidak memperpanjang kontrak karyawan seiring dengan kondisi bisnis yang terpukul akibat pandemi dan tingginya inflasi. Atau dari sisi moneter bagaimana menjaga nilai tukar rupiah agar tetap stabil demi menjaga inflasi, mengingat tekanan rupiah belakangan meningkat, dan sudah banyak mata uang negara lain yang terpuruk seiring dengan penguatan US dolar.
Sejauh ini, pemerintah selalu optimis bahwa pertumbuhan ekonomi nasional masih mampu tumbuh diatas 5%, inflasi masih cukup terkendali dan akan ditutup dikisaran 6.5% di akhir tahun 2022. Ekspektasi itu menurutnya adalah gambaran yang paling optimis karena masih mengabaikan situasi terburuk yang bisa saja terjadi di masa yang akan datang.
“Mitigasi dibutuhkan saat ini, dengan tidak hanya bersandar pada data data ekonomi yang terlihat sangat optimis, tetapi masyarakat perlu untuk terus diedukasi dan sebaiknya dibekali persiapan untuk menghadapi guncangan ekonomi yang lebih besar. Karena smeuanya adalah ketidak pastian, dan sejauh ini mengarah kepada ketidakpastian yang terburuk,” pungkasnya. *(ika)


