SuaraTani.com – Jakarta| Badan Pengawas Perdagangan Komoditi (Bappebti) diminta untuk senantiasa secara terus-menerus menelurkan strategi kebijakan yang proaktif, responsif, dan antisipatif terhadap dinamika perekonomian dan perdagangan global yang penuh ketidakpastian.
Peran Bappebti harus
diperkuat, khususnya dalam
menyongsong tantangan perdagangan 2023.
Permintaan ini disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli
Hasan, saat membuka Rapat Kerja Bappebti pada Kamis (19/1/2023) di Auditorium
Kementerian Perdagangan, Jakarta.
Kemendag menurut Zulkifli
Hasan akan semakin proaktif, responsif, dan antisipatif terhadap dinamika
perekonomian dan perdagangan global yang penuh ketidakpastian dengan
mengeluarkan berbagai strategi
kebijakan yang tepat sasaran.
“Kuncinya adalah kolaborasi serta
sinergi antarkementerian lembaga
dan unit yang
ada di Kementerian
Perdagangan," kata Mendag Zulkifli Hasan.
Mendag Zulkifli Hasan mengungkapkan, salah satu tugas utama
Bappebti pada 2023 adalah melaksanakan Undang Undang Nomor 4 tahun 2023 tentang
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang ditandatangani Presiden pada Kamis, 12
Januari 2023 lalu.
Dengan adanya UU tersebut, sebagian kewenangan, tugas, dan fungsi
Bappebti terkait pengawasan di industri keuangan telah dialihkan ke Otoritas
Jasa Keuangan (OJK).
“Pengalihan ini sebagai upaya pemerintah dan DPR dalam memfokuskan
dan memperkuat fungsi pengawasan
industri keuangan di Indonesia untuk melindungi konsumen atau nasabah dari
pesatnya perkembangan. Sekali lagi, saya tekankan bahwa ini merupakan
upaya dari Pemerintah dan DPR yang berpandangan ke depan," tegas Mendag
Zulkifli Hasan.
UU PPSK terdiri dari 27 bab dan 341 pasal mengamanahkan pergeseran
dua kewenangan Bappebti ke OJK, yaitu
terkait pengelolaan aset kripto dan
perdagangan derivatif. Perpindahan kewenangan
merupakan keputusan pemerintah dan DPR agar pengelolaan dan pengawasan
terhadap aset kripto dan perdagangan
derivatif dapat terintegrasi dengan pengelolaan
keuangan.
Tujuannya, untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya permasalahan
dalam stabilisasi sektor keuangan di
masa depan. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bappebti bersama Kementerian Keuangan
akan menyusun Peraturan Pemerintah terkait masa transisi.
"Bappebti harus mengoptimalkan peran dan bekerja lebih baik
lagi dalam melakukan pembinaan, pengaturan dan pengawasan terhadap pelaku usaha
serta perbaikan ekosistem usaha.
Selain itu, perlu juga untuk disusun langkah strategis dan tepat
agar mekanisme pengalihan kewenangan
nantinya tidak menimbulkan dampak yang berarti bagi industri dan
masyarakat," jelas Mendag Zulkifli Hasan.
Sementara Plt Kepala Bappebti, Didid Noordiatmoko menyebut, pada
2022 Bappebti telah melakukan pengawasan terhadap transaksi senilai lebih dari
Rp22 ribu triliun. Transaksi tersebut
terdiri dari transaksi perdagangan
berjangka komoditas sebesar
Rp22.181,75 triliun dan
perdagangan aset kripto
sebesar Rp296,66 triliun.
Selain itu, Bappebti melakukan pengawasan terhadap perdagangan
fisik emas digital senilai Rp1.976,88 miliar serta timah murni batangan senilai
USD 2,36 miliar. Selanjutnya, Bappebti juga melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan SRG dan pasar lelang
komoditas.
Sepanjang 2022 nilai
transaksi SRG tercatat sebesar
Rp 1,275 triliun
dengan sekitar 20
jenis komoditas dan 165 gudang
yang tersebar di 144 kabupaten di 29 provinsi. Terkait pasar lelang, nilai
transaksi yang tercatat adalah sebesar Rp52,5 miliar.
"Besarnya nilai transaksiperdagangan tersebut berpengaruh
terhadap peningkatan perekonomian negara maupun pada penerimaan pajak,"ucap
Didid.
Didid memaparkan, Bappebti merencanakan pembentukan harga acuan
komoditas (price reference) sesuai dengan mandat UU 32/1997 tentang Perdagangan
Berjangka Komoditi pada 2023. Ini disebabkan Indonesia belum memiliki harga
acuan komoditas tertentu padahal
merupakan salah satu negara penghasil terbesar beberapa jenis komoditas.
Perdagangan di dalam bursa akan menghasilkan tata kelola
perdagangan yang adil dan transparan. Dengan masuk ke dalam bursa, harga yang
terbentuk juga tidak ditentukan semata antara pemilik komoditas dan buyer di
luar negeri.
"CPO dan karet
misalnya, Indonesia merupakan
penghasil terbesar dunia
namun masih mengambil
harga acuan yang dihasilkan
bursa di luar
negeri, seperti Malaysia
dan Rotterdam. Untuk
dapat menjadi harga acuan,
maka komoditas tersebut harus masuk
ke dalam bursa.
Negara akan diuntungkan
dengan harga pasar yang wajar dan
dapat memberikan keuntungan semua pihak mulai dari petani, pedagang, pengusaha,
bahkan negara dari sisi penerimaan pajaknya,"papar Didid.
Didid menambahkan, tugas
Bappebti berikutnya adalah
mendorong pertumbuhan SRG.
SRG merupakan salah satu
alat dalam dunia
perdagangan yang menyediakan
skema pembiayaan murah
dengan agunan komoditas.
Namun demikian, skema pembiayaan ini hanya akan berjalan baik jika
didukung dengan pemasok (offtaker) yang jelas serta adanya kemudahan dalam
mekanisme dan prosedur transaksi. Pemilik barang akan memanfaatkan mekanisme
SRG ini jika
diyakini barangnya nanti
sudah akan ada
yang membeli atau menampung.
Dengan demikian, mekanisme
SRG ini dapat
digunakan untuk pembiayaan
bagi petani yang baru
panen dan berharap
harga komoditasnya tidak
turun. Selain itu,
dapat digunakan UMKM
yang ingin melakukan ekspor
sebelum barang atau komoditasnya jumlahnya sesuai denga kuota yang diharapkan.
“Kajian kami, petani yang memanfaatkan skema SRG mempunyai
penghasilan 1,6 kali lebih baik dari pada yang tidak menggunakan SRG. Kendala
utama yang kami temui terkait pelaksanaan SRG adalah rendahnya literasi
masyarakat serta pemahaman pemerintah daerah yang tidak optimal atas mekanisme
ini,"pungkas Didid. *(jasmin)