SuaraTani.com - Jakarta| Kelas BPJS Kesehatan telah dihapus dan diganti menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang diwajibkan terhadap rumah sakit.
Penghapusan Kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS merupakan amanat UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
UU tersebut lalu diturunkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Salah satunya yakni mengatur penerapan fasilitas ruang perawatan rumah sakit dengan 12 kriteria. Namun implementasinya selalu diundur oleh Pemerintah karena banyak rumah sakit yang tidak siap.
Menyikapi hal itu, Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mengatakan, perubahan sistem tersebut, pasti akan memunculkan beberapa konsekuensi dari masyarakat yang menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Konsekuensi tersebut tidak hanya terkait keharusan memenuhi kriteria fisik, melainkan juga harus memastikan adanya ketersediaan tenaga kesehatan dan juga obat-obatan yang terstandardisasi.
“Banyak rumah sakit yang tidak siap untuk mengimplementasikan Kelas Rawat Inap Standar. Kenapa? Karena memang kalau kita bicara tentang kemampuan rumah sakit, (maka juga terkait) cash flow rumah sakit untuk membuat penyesuaian," kata Netty, Rabu (15/5/2024) di Senayan, Jakarta.
Karena itu, ia meminta pemerintah melakukan kajian. Kenapa?
"Karena ketika kelas rawat inap standar ini diterapkan, diimplementasikan sudah pasti akan terjadi beberapa fenomena ya,” ujar Netty.
Konsekuensi yang akan terjadi di antaranya, adanya gejolak di antara peserta BPJS Kesehatan. Adanya KRIS ini bisa diartikan akan tidak adanya perbedaan antara kelas satu, dua dan tiga.
Karena setiap kelas akan mendapatkan layanan yang sama dengan kamar yang sama. Untuk itu perlu pengkajian, baik mengenai Premi BPJS, Imigrasi Peserta, dan Insentif untuk rumah sakit swasta.
“Jika semua peserta akan mendapatkan layanan yang sama, berarti kan kita harus mulai menghitung atau melibatkan aktuaria untuk menghitung paket INA-CBG. Apakah betul jarum suntiknya, obatnya, alat infusnya itu sama? Kalau semuanya mendapatkan layanan yang sama. Nah ini saya minta kemarin supaya dilakukan kajian apakah Premi BPJS nya masih seperti itu?" ujarnya.
Menurut Netty, imigrasi peserta juga dikhawatirkan akan terjadi. Karena pasti banyak peserta yang menganggap tidak adanya perbedaan pelayanan yang didapatkan antara kelas satu, dua dan tiga.
Sehingga semua akan memilih kelas yang rendah saja.
“Masyarakat pasti berpikirnya sama-sama? (Ibaratnya) kok Tuan dengan Pekerja, (bayar preminya) sama. Atasan dengan bawahan (bayar preminya) sekarang sama gitu, bisa di ruangan yang sama, itu analoginya yang paling mudah,” jelasnya.
Kemudian insentif untuk rumah sakit swasta juga perlu dipikirkan. Karena dengan adanya KRIS ini membuat rumah sakit swasta juga perlu melakukan penyesuaian.
“Kan enggak ada anggaran dari pemerintah untuk rumah sakit swasta, berbeda dengan rumah sakit pemerintah. Ya pastinya mereka mendapatkan anggaran untuk bisa melakukan penyesuaian ruangan, tirai, kamar mandi dan seterusnya,” tambahnya
Namun, menurut Netty, catatan penting dalam penerapan KRIS ini bukan hanya soal kriteria fisik mengenai fasilitas pelayanan ruang inap saja. Yang terpenting juga ketersediaan tenaga kesehatan dan obat bagi para pasien.
Jadi jangan cuma kemudian kita merasa sudah memberikan layanan terbaik ketika kita bicara fisik. Padahal kemudian ada dokter yang tidak datang pada jam prakteknya atau ketika pasien masih banyak dokter sudah pulang.
Atau obat-obatan sebagiannya masih cost sharing, harus ambil dari kocek pasien.
"Nah hal seperti ini menurut saya perlu dibenahi. Kenapa? karena bagaimanapun ketika kita bicara kesehatan, yang sakit tidak bisa menunggu, yang miskin tidak dapat diabaikan,” tegasnya. * (wulandari)