Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Harga Gula dan Tetes Tebu Anjlok, Komisi VI Soroti Kebijakan Kemendag Bebaskan Impor

Anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan. foto: ist 

SuaraTani.com - Jakarta| Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengadukan anjloknya harga gula dan tetes tebu kepada Komisi VI DPR RI. Kondisi ini disinyalir menjadi dampak pelaksanaan Permendag 16 Tahun 2025.

Anggota Komisi VI DPR RI, Nasim Khan menyoroti kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang membebaskan impor beberapa komoditas olahan tebu tanpa syarat persetujuan impor, kuota, bea masuk dan tanpa rekomendasi.

“Kebetulan Kemendag adalah mitra kami di Komisi VI, yang membebaskan impor etanol tanpa syarat persetujuan impor kuota bea masuk dan tanpa rekomendasi. Padahal neraca komoditasnya sudah ada, yang dimaksud nanti tanpa syarat persetujuan impor ini. Ini yang harus kita bedah bersama atau tambahan-tambahan lainnya yang setahu kita di Komisi VI tidak pernah ada pembahasan penambahan kuota impor ini nanti,” ujarnya, saat memimpin rapat di Jakarta, Ranu (20/8/2025).

Politisi Fraksi PKB ini menjelaskan bahwa pemerintah sebenarnya telah menetapkan harga patokan petani (HPP) gula sebesar Rp14.500 per kilogram sebagai instrumen perlindungan. 

Namun di lapangan, harga justru jatuh di bawah standar tersebut akibat lemahnya serapan pasar domestik, menurunnya daya beli masyarakat, serta maraknya peredaran gula rafinasi di pasar konsumsi. 

Nasim menyampaikan, kondisi ini telah menyebabkan sekitar 100 ribu ton gula, bahkan bisa lebih menumpuk di gudang pabrik tanpa terserap. 

Situasi tersebut menimbulkan kerugian besar bagi petani yang selama ini menjadi tulang punggung produksi gula nasional. Kondisi semakin diperparah dengan produk turunan berupa tetes tebu yang juga tertekan. 

"Harga yang pada tahun 2024 masih berada di kisaran Rp3.000 per kilogram, pada tahun 2025 anjlok drastis hingga Rp1.200-Rp1.500 per kilogram. Dan semua pabrik gula tetes sekarang sudah hampir penuh, diperhitungkan dalam waktu seminggu bila produksi tetes tidak bisa keluar, maka produksi giling tidak akan bisa dilanjutkan," jelas Nasim.

Menurutnya, hal ini menimbulkan dilema ganda bagi petani tebu. Di satu sisi, gula yang diproduksi tidak mampu terserap sesuai HPP. Di sisi lain, tetes yang selama ini menjadi penyangga pendapatan petani justru jatuh harganya.

Ia menilai, secara ekonomi kondisi tersebut mempersempit margin keuntungan bahkan berpotensi menimbulkan kerugian besar. 

Sementara secara sosial, dampaknya lebih luas karena tebu merupakan tanaman rakyat yang melibatkan ratusan ribu keluarga di pedesaan.

“Jika masalah ini tidak segera diatasi, pabrik gula terancam giling lebih awal, tenaga kerja menghadapi ancaman PHK, dan roda ekonomi pedesaan dapat berhenti dan sudah terjadi di beberapa petani di daerah-daerah kita,” tuturnya.

Menutup pengantar rapat, Nasim menyampaikan bahwa Komisi VI DPR RI memandang persoalan ini bukan sekadar problem teknis pasar. 

Masalah ini menjadi isu strategis yang menyangkut keberlanjutan ekonomi petani, swasembada gula, kelangsungan industri gula nasional, serta ketahanan pangan dan energi bangsa. * (jasmin)