Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Inilah Tujuh Perusahaan Penyebab Bencana Banjir Bandang dan Longsor di Tapanuli Menurut Walhi

Foto citra satelit (2024) bukaan hutan tambang emas PT Agincourt Resourches di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan. foto: int

SuaraTani.com - Medan| Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Utara (Sumut) menyebut tujuh perusahaan sebagai pihak yang diduga menjadi penyebab utama bencana ekologis yang melanda kawasan Tapanuli, Sumatera Utara (Sumut).

Sejak Selasa (25/11/2025), sedikitnya 8 kabupaten/kota di Sumut terdampak banjir bandang dan longsor, dengan Tapanuli Selatan (Tapsel) dan Tapanuli Tengah (Tapteng) sebagai wilayah paling parah. 

Puluhan ribu warga mengungsi, ribuan rumah hancur, serta ribuan hektare lahan pertanian rusak tersapu banjir. 

"Hingga kini, tercatat 51 desa di 42 kecamatan terdampak, dengan banjir melumpuhkan perekonomian, merusak infrastruktur, rumah ibadah, dan sekolah," kata Direktur Eksekutif WALHI Sumut, Rianda Purba, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/11/2025) di Medan.

Dikatakannya, bencana tersebut paling parah melanda wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapsel, Tapteng, Tapanuli Utara (Taput), dan Kota Sibolga.

“Kami mengindikasikan tujuh perusahaan sebagai pemicu kerusakan karena aktivitas eksploitatif yang membuka tutupan hutan Batang Toru,” ujar Rianda.

Adapun perusahaan tersebut menurut Rianda yakni PT Agincourt Resources – Tambang emas Martabe, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) – PLTA Batang Toru, PT Pahae Julu Micro-Hydro Power – PLTMH Pahae Julu.

PT SOL Geothermal Indonesia – Geothermal Taput, PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL) – Unit PKR di Tapsel, PT Sago Nauli Plantation – Perkebunan sawit di Tapteng, dan  PTPN III Batang Toru Estate – Perkebunan sawit di Tapsel. 

"Ketujuhnya beroperasi di atau sekitar ekosistem Batang Toru, habitat orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, tapir, dan spesies dilindungi lainnya," tegas Rianda.

Rianda mengatakan, ekosistem Harangan Tapanuli/Batang Toru merupakan salah satu bentang hutan tropis esensial terakhir di Sumut. Secara administratif, 66,7% berada di Taput, 22,6% di Tapsel, dan 10,7% di Tapteng. 

Sebagai bagian dari Bukit Barisan, hutan ini menjadi sumber air utama, mencegah banjir dan erosi, serta menjadi pusat Daerah Aliran Sungai (DAS) menuju wilayah hilir.

Rincian Kerusakan Lingkungan 

1. PT Agincourt Resources

Sepanjang 2015–2024, perusahaan ini telah mengurangi tutupan hutan dan lahan sekitar 300 hektare di DAS Batang Toru. 

Lokasi TMF (Tailing Management Facility) berada sangat dekat Sungai Aek Pahu yang mengaliri Desa Sumuran. Warga menyampaikan bahwa sejak beroperasinya PIT Ramba Joring, air sungai sering kali keruh saat musim hujan.

2. PLTA Batang Toru (PT NSHE)

Proyek PLTA telah menyebabkan hilangnya lebih dari 350 hektare tutupan hutan di sepanjang 13 km daerah sungai, serta gangguan fluktuasi debit sungai, sedimentasi tinggi akibat pembuangan limbah galian terowongan dan pembangunan bendungan. 

Dan, potensi polusi sungai bila limbah galian mengandung unsur beracun

Menurut Rianda, video luapan Sungai Batang Toru di Jembatan Trikora yang viral di media sosial menunjukkan gelondongan kayu dalam jumlah besar. 

"WALHI Sumut mensinyalir kayu-kayu tersebut berasal dari area pembangunan infrastruktur PLTA," jelasnya.

3. PT Toba Pulp Lestari (PKR)

Rianda mengatakan, ratusan hingga ribuan hektare hutan di DAS Batang Toru telah beralih fungsi menjadi Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) yang ditanami eukaliptus, terutama di Kecamatan Sipirok, Tapsel.

4. Skema PHAT (Pemanfaatan Kayu Tumbuh Alami)

Pembukaan hutan melalui skema PHAT menjadi salah satu pemicu banjir bandang. Kawasan koridor satwa yang menghubungkan Dolok Sibualbuali–Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat telah terdegradasi sedikitnya 1.500 hektare dalam tiga tahun terakhir.

Rianda menegaskan, banjir bandang dan longsor yang terjadi pada 25 November 2025 lalu bukan sekadar akibat hujan ekstrem.

“Setiap banjir membawa kayu-kayu besar, dan citra satelit menunjukkan hutan gundul di sekitar lokasi. Ini bukti campur tangan manusia melalui kebijakan yang memberi ruang pembukaan hutan,” tegasnya.

Ia juga menegaskan bahwa ini adalah bencana ekologis akibat kegagalan negara mengendalikan kerusakan lingkungan.

Dikatakan Rianda, berdasarkan AMDAL, PT Agincourt Resources memproduksi 6 juta ton emas per tahun, dan berencana meningkatkan kapasitas menjadi 7 juta ton dengan membuka 583 hektare lahan baru untuk fasilitas tailing, termasuk penebangan 185.884 pohon.

"Investigasi WALHI menemukan bahwa sekitar 120 hektare sudah dibuka," jelasnya.

Dijelaskannya, dokumen dampak lingkungan perusahaan itu sendiri mencantumkan risiko, yakni perubahan pola aliran sungai, peningkatan limpasan, penurunan kualitas air, hilangnya vegetasi dan  rusaknya habitat satwa.

Tuntutan WALHI Sumut 

WALHI Sumut kata Rianda, menegaskan bahwa kehadiran industri ekstraktif telah menyebabkan deforestasi yang mengorbankan lingkungan dan masyarakat. 

Karena itu, WALHI menuntut pemerintah untuk menghentikan aktivitas industri ekstraktif di Ekosistem Batang Toru. Di antaranya mengevaluasi dan mencabut izin PT Agincourt Resources, mengevaluasi dan menghentikan proyek PLTA Batang Toru (NSHE).

Menutup dan mencabut izin PT Toba Pulp Lestari, termasuk praktik PKR, dan menghentikan aktivitas keempat perusahaan lain yang disebut sebelumnya.

WALHI Sumut juga meminta pemerintah menindak tegas pelaku perusakan lingkungan, termasuk tujuh perusahaan yang diindikasikan merusak hutan dan lahan di DAS Batang Toru.

Kemudian, menetapkan kebijakan perlindungan ekosistem Batang Toru melalui RTRW Kabupaten, Provinsi, dan Nasional secara terpadu. 

"Pemerintah juga harus memastikan kebutuhan dasar para penyintas serta mengevaluasi wilayah rawan bencana untuk memitigasi kejadian serupa," tutup Rianda. * (junita sianturi)