SuaraTani.com - Jakarta| Komisi XII DPR RI menyoroti kelayakan ekonomi produksi bioetanol di Indonesia yang dinilai belum efisien dan berpotensi menimbulkan tekanan terhadap sektor pangan.
DPR meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan kajian mendalam sebelum melanjutkan rencana penerapan program campuran bahan bakar E10 (10 persen etanol dalam bensin).
Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi mengatakan, penggunaan bahan baku jagung untuk produksi etanol belum sesuai dengan kondisi ekonomi nasional.
Harga produksi etanol dari jagung disebut terlalu tinggi dan dapat bersaing langsung dengan kebutuhan pakan ternak, yang saat ini juga meningkat.
“Etanol berbahan jagung ini bermasalah. Sekarang kebutuhan pakan ternak sangat tinggi. Kalau dipakai untuk bahan bakar, harga bisa melonjak,” ujar Bambang dalam rapat dengar pendapat dengan Dirjen Migas dan Dirjen EBTKE Kementerian ESDM di ruang rapat Komisi XII, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025).
Ia menceritakan pengalaman DPR saat kunjungan ke salah satu pabrik etanol di Lampung beberapa waktu lalu. Pabrik tersebut mampu memproduksi etanol berbahan jagung, namun biaya produksinya tidak ekonomis untuk digunakan sebagai bahan bakar.
“Kami pernah datang ke pabrik etanol di Lampung, dan mereka sampaikan bisa digunakan untuk bahan bakar, tapi harganya tidak masuk. Karena bahan bakunya jagung, dan ini food grade, untuk farmasi atau pangan. Kalau dijadikan bahan bakar, nilainya jauh lebih tinggi,” jelasnya.
Legislator Fraksi Partai Gerindra itu mengatakan, penggunaan jagung sebagai bahan baku etanol berisiko menimbulkan gangguan pada rantai pasok pangan dan pakan nasional.
Karena itu, ia menilai pemerintah perlu mencari alternatif bahan baku yang lebih efisien dan tidak tumpang tindih dengan kebutuhan pangan masyarakat.
"Kami minta Kementerian ESDM mengkaji lebih dalam. Jangan hanya karena bisa diproduksi, lalu dipaksakan untuk dijual sebagai bahan bakar. Harus dilihat keekonomian dan dampaknya terhadap pangan,” tegasnya.
Bambang menambahkan, hasil temuan DPR juga menunjukkan bahwa bahan baku berbasis tebu lebih potensial untuk produksi etanol bahan bakar dibandingkan jagung. Tebu dinilai lebih stabil dari sisi pasokan dan tidak secara langsung bersaing dengan kebutuhan pangan pokok.
"Menurut pelaku industri, untuk bahan bakar sebaiknya menggunakan tebu, karena kalau dari jagung tidak akan masuk harganya. Ini yang perlu jadi perhatian pemerintah,” ujarnya.
Ia mengingatkan, kebijakan energi baru dan terbarukan harus selaras dengan kondisi ekonomi nasional. Pemerintah, tidak boleh memaksakan program energi hijau jika berpotensi menaikkan harga bahan pangan dan membebani masyarakat.
“Niat kita semua untuk mengurangi energi fosil itu baik, tapi kalau membuat harga bahan pokok naik, itu justru kontraproduktif. Jangan sampai niat baik menjadi masalah baru,” pungkasnya.
Program E10 merupakan bagian dari upaya pemerintah memperluas penggunaan bahan bakar nabati melalui campuran 10 persen bioetanol ke dalam bensin. Namun hingga kini, kebijakan tersebut masih dalam tahap kajian dan uji coba di beberapa wilayah.* (erna)


