Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Komentar Pejabat Publik Dinilai Remehkan Banjir Sumatera dan Aceh

Anggota DPR RI Yanuar Arif Wibowo. foto: ist 

SuaraTani.com - Jakarta| Anggota DPR RI Yanuar Arif Wibowo menyesalkan sejumlah pernyataan pejabat pemerintah yang dinilai tidak empati dan justru memicu kemarahan publik di tengah tragedi banjir dan longsor besar yang melanda Sumatera dan Aceh. 

Ia meminta pemerintah, termasuk para menteri hingga Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), untuk lebih berhati-hati dan sensitif dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat yang sedang berduka.

Menurutnya, beberapa komentar pejabat terkesan defensif dan meremehkan skala bencana. Salah satu yang ia singgung adalah komentar sejumlah pejabat menanggapi banyaknya kayu gelondongan yang hanyut terbawa arus banjir dalam bencana tersebut

“Jangan defensif dengan statement yang membuat masyarakat marah. Ada (pejabat) yang bilang (akar pohonnya) tercabut karena hujan deras, tercabut karena nggak ada akarnya. Ini kan membuat orang bertanya dan marah,” ungkap Yanuar.

Ia mengatakan itu dalam forum diskusi bertajuk "Refleksi Akhir Tahun: Membangun Solidaritas Bersama di Tengah Bencana" di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (2/12/2025).

Yanuar juga menyoroti pernyataan Kepala BNPB yang sebelumnya mengatakan kondisi di lapangan tidak seheboh yang terlihat di media sosial. 

Menurutnya, komentar demikian tidak menunjukkan empati di saat ratusan warga kehilangan nyawa. 

“Masa iya 700 meninggal dunia dianggap biasa-biasa saja? Menurut saya enggak (etis). Ini anak bangsa,” tegasnya.

Politisi Fraksi PKS tersebut turut mengungkap laporan dari Aceh mengenai dua desa yang hilang akibat banjir dan longsor. Hal itu, seharusnya menjadi alarm serius agar pejabat lebih berhati-hati dalam menarasikan kondisi lapangan.

Meski mengkritik, Yanuar tetap mengapresiasi langkah cepat Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang mengirimkan bantuan menggunakan pesawat khusus ke lokasi terdampak. Banyak fraksi dan partai yang turun ke lapangan. 

“Itu bagian dari empati. Jadi jangan sampai pejabat publik malah membuat statement yang memicu amarah, apalagi ketika bicara soal kehilangan jiwa dan harta benda yang tidak sedikit,” ujarnya.

Dikatakannya, komunikasi pejabat publik saat krisis harus memberi keteduhan, bukan memancing kemarahan. Relawan dan korban, membutuhkan rasa diperhatikan, bukan cemoohan atau narasi yang mendiskon kenyataan di lapangan. 

Karena itu, ia menilai momentum bencana ini harus menjadi refleksi bagi pemerintah dalam memperbaiki komunikasi kebencanaan.

“Seluruh pejabat di republik ini harus berbenah. Komunikasi para pejabat dalam situasi seperti ini juga harus berbenah,” jelasnya.

Yanuar turut mengingatkan bahwa bencana besar yang terus berulang setiap akhir tahun harus menjadi pelajaran bagi pemerintah. Kondisi alam Indonesia kini menunjukkan pola yang semakin ekstrem dan menuntut kebijakan yang lebih bijaksana, termasuk kesiapsiagaan mitigasi.

Di sisi lain, ia meminta pemerintah pusat memberikan perhatian ekstra terhadap daerah terdampak, terutama karena kondisi fiskal banyak pemerintah daerah saat ini sangat tertekan.

“Keterbatasan beban yang ditanggung gubernur dan bupati itu nyata. APBD mereka tidak sanggup. Jadi kalaupun belum ditetapkan sebagai bencana nasional, saya berharap pemerintah pusat punya perhatian lebih terhadap saudara-saudara kita yang sedang dilanda bencana,” pungkasnya. 

BNPB mencatat korban tewas dalam bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat per Selasa (2/12/2025) siang bertambah menjadi 659 orang.

Hingga berita ini diturunkan, berdasarkan data BNPB yang ditampilkan dalam situs resmi mereka, jumlah korban hilang sebanyak 475 orang di tiga provinsi terdampak. 

Sementara itu korban luka-luka dalam bencana ini mencapai 2.600 orang. Jumlah warga terdampak banjir besar di Aceh, Sumut, dan Sumbar tembus 3,2 juta jiwa. * (wulandari)