Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Arc’teryx Daftarkan Gugatan Kasus Hak Cipta, Ekonom Desak Pemerintah Sterilkan Pasar dari Produk Palsu

Kasus peredaran produk palsu dan pendaftaran merek tiruan masih sering ditemui di Indonesia. foto: int

SuaraTani.com - Jakarta| Kasus peredaran produk palsu dan pendaftaran merek tiruan masih sering ditemui di Indonesia. 

Contoh kasus terbaru adalah perusahaan produk olahraga asal Kanada Arc’teryx Equipment yang telah mengajukan tuntutan melalui Pengadilan Niaga Jakarta kepada perusahaan asal China untuk kasus pelanggaran hak cipta. Sidang perdana digelar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2024).

Cameron Clark, Head of Legal Arc’teryx Equipment, mengatakan Arc’teryx Equipment, divisi Amer Sports Canada Inc., adalah grup global produk merek olahraga dan perlengkapan outdoor, serta pemegang pertama merek Arc'teryx di Kanada dan di sejumlah negara. 

Dia menegaskan pembukaan toko di salah satu mal besar Jakarta sebagaimana diberitakan di berbagai media online bukanlah toko resmi Arc’teryx. 

Cameron memastikan perusahaan tidak memiliki cabang dan tidak pernah memberikan izin kepada perusahaan lain untuk menjual langsung produk mereka di Indonesia. 

Selain untuk menghentikan kerugian bisnis lebih jauh, menurutnya, tuntutan hukum dilakukan untuk melindungi konsumen dan memastikan bahwa hanya produk Arc’teryx resmi yang memenuhi standar tinggi dan memberikan garansi kepada konsumen. 

“Selain proses hukum yang sedang berlangsung di Indonesia, Amer Sports juga telah memulai tindakan hukum di negara asal perusahaan tidak resmi tersebut, serta tindakan hukum lainnya sedang berjalan di Malaysia dan Singapura sebagai respons terhadap upaya penyalahgunaan merek Arc’teryx,” jelas Cameron, dalam keterangan resminya, Rabu (13/8/2025) di Jakarta.  

Merespons maraknya kasus peredaran produk tiruan atau palsu di pasar dalam negeri, secara terpisah, ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengatakan peredaran produk palsu sangat merugikan perekonomian di dalam negeri.  

Dia mengemukakan aspek yang dirugikan bahkan sangat luas, mulai dari penerimaan negara, kerugian bisnis dari produsen asli, sulitnya mengawasi perlindungan konsumen, serta mengurangi kepastian hukum di Indonesia untuk menciptakan iklim usaha sehat dan hak cipta. 

“Hak Cipta merek merupakan hak kekayaan intelektual yang harus dilindungi agar menciptakan inovasi-inovasi yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi berkualitas. Ketika inovasi meningkat, maka akan ada nilai tambah dari suatu produk. Akan menjadi insentif bagi dunia usaha guna menciptakan produk baru yang bisa menghasilkan nilai tambah,” terangnya menjawab wartawan.

Jika tidak ada perlindungan terhadap merek, ujarnya, perusahaan akan kehilangan insentif untuk menghasilkan inovasi produk lagi. Inovator akan enggan memproduksi barang yang inovatif, jikalau hasilnya bisa dijiplak dengan mudah oleh oknum tertentu.

“Jadi saya harap ada kepastian hukum yang kuat di Indonesia terkait dengan hak merek ini. Salah satu caranya dengan memberikan hukuman bagi pelaku penjiplakan merek dagang termasuk dengan inovasi produk. Selain itu, masyarakat juga diberikan pengertian bahwa membeli barang palsu atau merek palsu merupakan tindak kejahatan juga. Selain merugikan pelaku usaha dan ekonomi tentunya,” terangnya.

Senada dengan Nailul Huda, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menegaskan Pemerintah diharapkan dapat memastikan bahwa pasar Indonesia steril dari produk-produk tiruan melalui kepastian hukum. 

Dia menilai ketegasan Pemerintah melindungi hak kekayaan intelektual juga akan meningkatkan daya saing investasi Indonesia secara global. 

Dia menjelaskan kepastian hukum perlu segera dilakukan karena peredaran produk palsu juga dapat berbahaya dari sisi kesehatan dan keselamatan konsumen. 

Apalagi untuk alat-alat yang memang untuk safety, seperti perlengkapan dan pakaian olahraga, seperti halnya Arc’teryx, serta barang-barang konsumsi lainnya. 

“Produsen asli biasanya sudah menguji uji keawetannya, uji keamanan dan seterusnya, termasuk keamanan bahan-bahan dari zat-zat kimia berbahaya. Nah, itu kalau dipalsukan, konsumen akan dirugikan. Itu tentunya akan sangat berbahaya ya bagi konsumen kalau produk palsu itu terus beredar. Itukan lebih berbahaya lagi karena menyangkut kesehatan dan nyawa,” tambahnya.

Dia mengatakan Pemerintah perlu tegas dan proaktif menindak produsen barang tiruan, seperti Kementerian Perdagangan harus melakukan penyitaan di lapangan. Bahkan mungkin perlu dibentuk tim Satgas Intelijen Produk Palsu karena sekarang banyak beredar di pasar.   

“Jadi sebetulnya secara umum memang produk palsu itu merugikan ya bagi perekonomian. Walaupun mungkin harganya lebih murah bagi konsumen, tapi kalau itu palsu pun tetap akan merugikan begitu karena produsennya juga enggan, lama-lama memproduk dan akhirnya produk itu akan hilang dari pasaran karena ketiadaan proteksi dan kemampuan pemerintah untuk menegakkan hukum,” paparnya.

Dari sisi kualitas, menurutnya, biasanya produk yang palsu itu kualitasnya juga jauh lebih rendah dari aslinya karena memang biaya produksi ditekan agar harganya bisa murah. 

"Mengapa murah, terangnya, karena bahan bakunya tidak sama, proses produksinya mungkin juga tidak semendetail produk aslinya. Sehingga dari sisi kualitas, produsen pasti dirugikan.

Selain kepastian hukum dan proaktif dari Pemerintah, produsen barang asli juga perlu mengedukasi konsumen soal kualitas produk yang mereka hasilkan. Sehingga konsumen memahami mengapa perlu menggunakan produk berkualitas, serta bisa membedakan mana produk asli dan produk palsu yang beredar di pasar. * (erna girsang)