SuaraTani.com - Jakarta| Inflasi Amerika Serikat (AS) pada Juli 2025 tercatat stabil di 2,7% secara tahunan, sedikit di bawah perkiraan pasar sebesar 2,8%.
Data ini memberi sinyal bahwa tekanan harga mulai terkendali, walau belum sepenuhnya hilang. Stabilnya inflasi mendorong ekspektasi pasar bahwa Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga pada pertemuan 17 September mendatang.
Berdasarkan data CME FedWatch, peluang pemangkasan kini mencapai 93,9%, menjadi salah satu yang tertinggi sepanjang tahun ini.
Bitcoin (BTC) merespons positif perkembangan tersebut dengan mencetak rekor tertinggi baru (All Time High) di level US$124.000 pada Kamis (14/8/2025) pagi, melampaui puncak pertengahan Juli 2025.
Stabilnya inflasi memicu arus modal ke aset berisiko, termasuk kripto. Investor global menilai bahwa pelonggaran kebijakan moneter akan meningkatkan likuiditas, yang berpotensi mendorong valuasi aset digital.
Selain faktor makro, penguatan ini juga didorong oleh meningkatnya pembelian korporat dalam beberapa pekan terakhir, di tengah semakin banyaknya perusahaan yang mengadopsi strategi treasury berbasis Bitcoin, seperti yang dipopulerkan oleh MicroStrategy Incorporated.
Langkah korporasi ini tidak hanya memperkuat permintaan pasar, tetapi juga mengubah cara pandang terhadap Bitcoin. Dari sekadar instrumen spekulasi, Bitcoin kini mulai diposisikan sebagai aset treasury jangka panjang oleh pelaku usaha berskala global.
Meski peluang pemangkasan suku bunga semakin besar, The Fed kemungkinan tetap akan memantau data tambahan sebelum mengambil keputusan. Langkah ini untuk memastikan kebijakan yang diambil tidak menimbulkan risiko kembalinya tekanan inflasi.
Vice President INDODAX, Antony Kusuma, memandang kondisi saat ini sebagai titik kritis yang menggabungkan kekuatan sentimen makro dan fundamental pasar kripto.
“Kita sedang melihat pertemuan dua faktor besar: inflasi yang mulai terkendali di bawah ekspektasi pasar, dan peluang pemangkasan suku bunga yang sangat tinggi. Kombinasi ini menciptakan kondisi di mana modal global lebih berani bergerak ke aset berisiko, termasuk kripto,” jelasnya.
Ia mengatakan, rekor baru Bitcoin di level US$124.000 bukan hanya hasil dari optimisme jangka pendek, tetapi juga akumulasi kepercayaan pasar terhadap peran Bitcoin di masa depan.
“Institusi besar, termasuk korporasi publik, kini mulai menempatkan Bitcoin sebagai bagian dari strategi treasury. Ini bukan sekadar spekulasi, ini adalah reposisi Bitcoin dari aset alternatif menjadi aset strategis,” kata Antony.
Antony melihat langkah perusahaan seperti MicroStrategy dan beberapa raksasa keuangan lainnya sebagai sinyal yang mengubah lanskap.
“Ketika korporasi mengalihkan sebagian kas mereka ke Bitcoin, itu bukan hanya mempengaruhi harga hari ini. Mereka mengirimkan pesan bahwa Bitcoin bisa berfungsi sebagai lindung nilai terhadap kebijakan moneter dan inflasi dalam jangka panjang,” tambahnya.
Ia mengingatkan bahwa euforia pasar tidak boleh mengaburkan risiko inheren di aset kripto.
“Reli besar sering kali diikuti oleh koreksi tajam. Ini adalah hukum alam di pasar berisiko tinggi. Investor yang hanya mengejar kenaikan tanpa strategi keluar sama saja dengan masuk ke arena dengan mata tertutup,” tegasnya.
Menurut Antony, tren harga Bitcoin sering kali menjadi cermin psikologi pasar secara keseluruhan.
“Saat ini kita melihat optimisme tinggi karena The Fed diperkirakan akan melonggarkan kebijakan. Tetapi narasi pasar bisa berubah hanya karena satu data ekonomi yang tidak sesuai harapan. Itulah sebabnya investor perlu disiplin mengelola eksposur,” jelasnya.
Antony juga menyoroti bahwa volatilitas bukanlah masalah yang harus dihindari, melainkan faktor yang harus dikelola.
“Banyak investor baru ingin volatilitas hilang, padahal justru di sanalah peluang berada. Yang diperlukan adalah kemampuan membaca pola dan menetapkan batas risiko yang jelas,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa strategi investasi yang matang harus mempertimbangkan diversifikasi. Meski Bitcoin sedang menjadi magnet perhatian, menaruh seluruh modal di satu aset adalah bentuk konsentrasi risiko yang sangat tinggi.
"Investor yang bijak akan memadukan aset berisiko dengan instrumen yang lebih stabil untuk menjaga keseimbangan portofolio,” katanya.
Dalam pandangannya, periode menjelang keputusan suku bunga The Fed akan menjadi ujian bagi kedewasaan investor.
“Mereka yang mampu memisahkan sinyal dari kebisingan pasar akan mampu mengambil keputusan yang tepat. Yang terjebak pada FOMO (fear of missing out) justru berisiko membeli di puncak,” ungkapnya.
Antony menegaskan komitmen INDODAX untuk menjadi mitra strategis bagi investornya.
“Kami tidak hanya membuka pintu akses perdagangan, tapi juga berupaya membekali member dengan analisis dan edukasi yang relevan. Tujuannya sederhana: agar setiap keputusan yang diambil berbasis informasi, bukan emosi,” pungkasnya. * (erna/rilis)